(Tugas Mk. EVALUASI SISTEM DAN PRODUKSI AKUATIK)
PENDAHULUAN
Ikan nila Oreochromis niloticus merupakan salah satu komoditas budidaya yang cepat tumbuh, mudah dibudidayakan, dan relatif tahan penyakit. Ikan nilai juga merupakan salah satu primadona pembudidaya ikan. Hal ini dapat dilihat dari tingkat produksi ikan nila yang menempati peringkat kedua terbesar di Indonesia yakni lebih dari 2 juta metrik ton di tahun 2017. Produksi ikan nila Indonesia menempati posisi kedua setelah Cina (Kep-BKIPM 2017). Ikan nila juga merupakan komoditas penting dalam akuakultur dunia dengan total produksi sebanyak 4200 juta ton pada tahun 2016 dan meningkat 8% dari tahun 2015 (FAO 2018).
Kegiatan produksi ikan nila terus meningkat dan semakin intensif sehingga muncul beberapa kendala dalam produksi ikan nila, seperti infeksi penyakit. Ikan nila, khususnya di Indonesia, umumnya dibudidayakan di lingkungan terbuka sehingga mudah terpapar oleh patogen. Beberapa penyakit yang sering ditemukan pada ikan nila adalah penyakit Motile Aoeromonas Septicaemia (MAS), vibriosis, columnaris, edwarsiellosis, streptococcosis, saprolegniasis, ciliates, dan monogenetic trematodes. Penyakit tersebut disebabkan oleh infeksi bakteri seperti Aeromonas hydrophila, Vibrio anguillarum, Flavobacterium columnae, Edwardsiella tarda, Streptococcus iniae, Enteroccoccus sp., dan Streptococcus agalactiae, infeksi fungi seperti Saprolegnia parasitica, infeksi parasit seperti Ichthyopthirius multifilis, Trichodina sp., Dactylogyrus spp., dan Gyrodactylus spp. (www.fao.org/fishery/culturedspecies/Oreochromis_niloticus/en#tcNA00C5).
Pada dekade terakhir, muncul penyakit baru (new emerging disease) pada ikan nila akibat infeksi virus dari keluarga Orthomyxoviridae (Eyngor et al. 2014) dan dikenal dengan nama penyakit Tilapia Lake Virus (TiLV). Penyakit tersebut secara resmi telah dilaporkan di Benua Asia, Afrika dan Amerika, yaitu di Kolombia, Ekuador, Israel, Mesir, Thailand, India, Malaysia, dan Filipina (Jansen dan Mohan 2017, OIE 2017). Infeksi penyakit TiLV dapat menyebabkan penurunan produksi ikan yang cukup besar (kematian hingga 80%) sehingga dapat menyebabkan kerugian ekonomi (Fathi et al. 2017).
Sebagai salah satu negara penghasil ikan nila terbesar di dunia, Indonesia harus mewaspadai dan melakukan antisipasi terhadap kemungkinan masuk dan tersebarnya penyakit TiLV di Indonesia. Lalu lintas perdagangan ikan nila, baik ikan hidup dan/atau ikan mati, antar negara atau antar daerah akan meningkatkan peluang masuk dan tersebarnya penyakit TiLV di Indonesia. Langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah hal tersebut adalah pelarangan importasi ikan nila dari negara yang terinfeksi TiLV. Larangan impor ikan nila dari negara yang terinfeksi TiLV dinyatakan dalam surat edaran No.3975/DJBP/VII/2017 (Kep-BKIPM 2017).
Analisis risiko dapat dilakukan dengan menggunakan metode Analisis Risiko Hama dan Penyakit Ikan (ARHPI). Metode analisis tersebut dilakukan untuk menentukan tingkat keseluruhan risiko dari suatu patogen penyebab penyakit secara ilmiah dan transparan serta mencakup identifikasi bahaya, penilaian, manajemen dan komunikasi risiko yang sesuai dengan ketentuan internasional. Pedoman ARHPI telah diatur dalam KEPMEN KP No. 337/BKIPM/2011 dengan menjelaskan tentang proses analisis risiko terhadap media pembawa yang berpotensi mengganggu kelestarian sumber daya hayati perikanan. Analisis risiko penyakit TiLV harus dilakukan agar dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan.
METODOLOGI
Paper ini dibuat melalui kajian pustaka dan data sekunder dari berbagai referensi seperti surat keputusan BKIPM, jurnal dan artikel review ilmiah. Analisis risiko dilakukan dengan menilai beberapa faktor seperti asal media pembawa, tingkat risiko media pembawa terhadap potensi penyebaran HPI, kemampuan HPI bertahan hidup, tingkat virulensi HPI, ketersediaan inang potensial, lingkungan yang memengaruhi perkembangan HPI, tingkat kesulitan HPI, tingkat kesulitan memusnahkan HPI dan dampaknya terhadap aspek ekonomi. Analisis risiko dilakukan berdasarkan metode Analisis Risiko Hama dan Penyakit Ikan (ARHPI) dan sesuai dengan KEPMEN KP No. 337/BKIPM/2011 tentang Pedoman Analisis Risiko Hama dan Penyakit Ikan. Landasan hukum yang digunakan dalam kegiatan analisis risiko impor penyakit TiLV adalah UU No. 16 tahun 1993, UU No. 32 tahun 2009, PP No. 14 tahun 2002, PPRI No. 50 tahun 2007, PERMEN KP No. PER.20/MEN/2007, PERMEN KP No. PER.16/MEN/2011, KEPMEN KPRI No. 80/KEPMEN-KP/2015, dan KEP-BKPMKHP No. 337 tahun 2011 tentang karantina hewan, ikan dan tumbuhan, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, konservasi sumber daya ikan, jenis HPIK, golongan, media pembawa dan sebarannya serta pedoman analisis risiko importasi ikan dan produk perikanan. Hasil penilaian tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar untuk penentuan tingkat risiko, manajemen risiko dan komunikasi risiko infeksi TiLV di Indonesia. Hasil analisis risiko TiLV dapat dijadikan dasar dalam pengambilan tindakan bagi otoritas berwenang untuk menghindari dan meminimalisir risiko masuknya TiLV ke Indonesia.
PEMBAHASAN
Tilapia Lake Virus Disease (TiLV) yang juga dikenal dengan istilah Syncytial Hepatitis of Tilapia (SHT) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi TiLV. Virus TiLV memiliki virion yang berbentuk ekosahedral dan memiliki amplop ukuran 55-100 nm (Eyngor et al. 2014; Ferguson et al. 2014; del-Pozo et al. 2017). Hasil berbeda diperoleh dalam penelitian Tattiyapong et al. 2017) yang menunjukkan bahwa TiLV virus yang ditemukan di organ otak ikan nila, memiliki virion yang beramplop, namun ada juga yang tidak beramplop. Genom TiLV berukuran 456-1.641 nukleotida yang terdiri dari 10 protein (Bacharach et al. 2016). TiLV memiliki kesamaan residu asam amino dengan kelompok virus Orthomyxovitidae. TiLV Israel memiliki kesamaan genetik sebesar 97,2-99%, TiLV Ekuador sebesar 98,7-100% (Bacharach et al. 2016), sedangkan TiLV Thailand sebesar 97,35-98,84% (Dong et al. 2017b). Virus TiLV dapat berkembang biak pada sel primer otak ikan nila atau di dalam sel E-11. Virus tersebut menghasilkan efek sitopatik pada 5-10 hari pasca infeksi (Eyngor et al. 2014).
Infeksi TiLV telah dilaporkan di Benua Asia, Afrika dan Amerika, khususnya di Kolombia, Ekuador, Israel, Mesir, Thailand, India, Malaysia, dan Filipina. Sebanyak 5 negara telah mengkonfirmasi keberadaan TiLV di negaranya dan sebanyak 43 negara yang memiliki risiko tinggi dan hanya 3 negara yang dilaporkan memiliki risiko rendah terhadap infeksi TiLV (Gambar 1) (Dong et al. 2017a). Lima negara yang telah mengkonfirmasi positif terinfeksi TiLV adalah Ekuador, Israel, Mesir, Thailand dan Kolombia, sedang 43 negara yang memiliki risiko tinggi terhadap infeksi TiLV adalah Algeria, Bahrain, Bangladesh, Belgium, Burundi, Canada, China, Congo, El-Salvador, Germany, Guatemala, India, Indonesia, Japan, Jordan, Laos, Malaysia, Mexico, Mozambique, Myanmar, Nepal, Nigeria, Pakistan, Philippines, Romania, Rwanda, Saudi Arabia, Singapore, South Africa, Sri Lanka, Switzerland, Tanzania, Togo, Tunisia, Turkey, Turkmenistan, Uganda, Ukraine, United Arab Emirate, United Kingdom, United States, Vietnam dan Zambia (Dong et al. 2017a). Infeksi TiLV dapat terjadi secara cepat dalam kegiatan budidaya ikan nila yang dilakukan di bak tertutup (hatchery) maupun pada bak di lingkungan terbuka karena TiLV dapat ditemukan di aliran air dan sistem irigasi (Dong et al. 2017).
TiLV yang merupakan salah satu virus RNA dapat menyebabkan kematian pada ikan nila liar Sarotherodon (Tilapia) galilaeus, ikan nila Oreochromis niloticus dan ikan nila hibrida O. niloticus x O. aureus (Bacharach et al. 2016); Ferguson et al. 2014; Eyngor et al. 2014). Infeksi TiLV dengan dosis 1 x 106 TCID50 fish-1 menunjukkan bahwa ikan nila (O. niloticus) lebih rentan terhadap ikan nila merah (Oreochromis spp.) (Gambar 2) (Tattiyapong et al. 2017). Akan tetapi, ikan nila yang dipelihara secara polikultur dengan ikan belanak Mugil cephalus dan karper Cyprinus carpio ditemukan rentan terhadap infeksi TiLV di Israel (Eyngor et al. 2014) dan ikan nila yang dipelihara dengan ikan grey mullet dan thin-lipped mullet di Mesir (Fathi et al. 2017). Ikan nila rentan terhadap infeksi TiLV saat stadia benih (Dong et al. 2017b). Ikan nila merah yang ditebar selama 1 bulan di karamba mengalami kematian sebesar 90%, sedangkan pada ukuran yang lebih besar hanya 9% (Fathi et al. 2017). Selain faktor ukuran dan stadia ikan, faktor lingkungan dan tingkat padat tebar juga dapat memengaruhi infeksi TiLV. TiLV menyerang pada kondisi suhu air sekitar 25-27 ˚C di Ekuador dan pada kondisi suhu air 22-32 ˚C di Israel (Eyngor et al. 2014). Infeksi TiLV tidak menyebabkan kematian pada suhu air <20 ˚C namun menyebabkan banyak kematian saat suhu air sekitar 30 ˚C (Tsofack et al. 2016).
Organ target TiLV adalah limpa, ginjal, mata, otak, dan hati. Konsentrasi TiLV yang tinggi juga dapat ditemukan pada limbah padat dan cair yang terkontaminasi. Hal tersebut menyebabkan adanya potensi penularan TiLV secara horizontal. Gejala klinis dari ikan nila yang terinfeksi TiLV adalah kehilangan nafsu makan, lesu, berperilaku tidak normal seperti berenang di permukaan, anemia, pucat, exophthalmia, pembengkakan perut, dan adanya congestion dan erosi kulit (Dong et al. 2017; Surachetpong et al. 2017). Hasil histologi organ otak ikan nila yang terinfeksi TiLV menunjukkan adanya lesi, edema, perdarahan fokal, dan kongesti kapiler serta degenerasi saraf. TiLV juga dapat menyebabkan kerusakan organ dalam seperti kongesti di ginjal dan otak, gliosis dan pembengkakan perivascular di korteks otak serta lesi okular seperti endophthalmitis dan perubahan lensa katarak (Eyngor et al. 2014) (Gambar 3a). Tattiyapong et al. 2017 menunjukkan bahwa ikan nila yang diinfeksi dengan TiLV memiliki gejala adanya peningkatan egregasi sel, vakuolasi seluler, penyusutan sel, dan formasi foci yang hilang di sekitar sel (Gambar 3b). Deteksi dini infeksi TiLV dapat dilakukan dengan metode PCR, seperti Reverse Transcriptase PCR (RT-PCR), real-time PCR dan nested PCR dengan menggunakan primer spesifik untuk nested 1 (EXT-1: 5’- TATGCA-GTACTTTCCCTGCC-3’ dan ME 1: 5’-GTTGGGCACAAGGCATCCTA-3’ dan semi nested (7450/150R /ME 2: 5’-TATCACGTGCGTACTCGTTCAGT-3’ dan ME 1: 5’-GTTGGGCACAAGGCATCCTA-3’) (Eyngor et al. 2014). Virus TiLV dapat dideteksi dengan Nested PCR minimal 7 kopi urutan TiLV (Tsofack et al. 2016). Selain menggunakan metode PCR, identifikasi ikan yang terinfeksi TiLV juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode histopatologi dan in situ hybridization (Bacharach et al. 2016; Jansen dan Mohan 2017).
Analisis Risiko Penyakit TiLV
Penilaian risiko infeksi TiLV dapat dilakukan melalui pendekatan skoring kuantitatif. Faktor yang dinilai berupa asal media pembawa, tingkat risiko media pembawa terhadap potensi penyebaran HPI, kemampuan HPI bertahan hidup, tingkat virulensi HPI, ketersediaan inang potensial, lingkungan yang memengaruhi perkembangan HPI, tingkat kesulitan HPI, tingkat kesulitan memusnahkan HPI dan dampaknya terhadap aspek ekonomi (Tabel 1). Hasil penilaian tersebut digunakan untuk penentuan status pemasukan TiLV yang terdiri dari tiga kategori, yaitu risiko rendah (skor 11-18), risiko sedang (skor 19-25) dan risiko tinggi (skor 26-33) (Kep- BKIPM 2017).
Tabel 1
Hasil penilaian risiko wabah TiLV (Kep-BKIPM 2017).
No.
|
Faktor
|
Skor
|
Keterangan
|
1
|
Asal media pembawa
|
3
|
Spesies yang rentan dan berpeluang menjadi media pembawa adalah ikan
nila hibrida O. niloticus x O. aureus, ikan
nila merah Oreochromis sp., Sarotherodon galilaeus, Tilapia Zilli dan O. aureus. Ikan tersebut belum masuk ke Indonesia dan TiLV masuk
dalam daftar HPIK golongan 1
|
2
|
Tingkat virulensi
|
3
|
Tingkat virulensi TiLV diukur dengan melihat tingkat kematian ikan
yang terinfeksi ketika kematian yang terjadi >60 % dalam waktu kurang dari
72 jam.
|
3
|
Kemampuan TiLV bertahan hidup
|
2
|
TiLV dapat ditemukan di dalam produk ikan beku sehingga dapat bertahan
hidup dalam tubuh inang yang hidup maupun yang mati
|
4
|
Tingkat kesulitan deteksi
|
1
|
Deteksi TiLV dapat dilakukan dengan metode histopatologi dan molekular
dengan metode RT-PCR.
|
5
|
Tingkat kesulitan pengendalian
|
3
|
Infeksi TiLV belum bisa dikendalikan karena virus tersebut masuk dalam
daftar HPIK golongan 1
|
6
|
Lingkungan yang mempengaruhi perkembangan HPIK/HPI tertentu
|
3
|
Indonesia sebagai salah satu negara tropis memiliki kondisi lingkungan
yang sangat cocok bagi perkembangan TiLV.
|
7
|
Tingkat risiko media pembawa terhadap potensi Penyebaran HPIK/HPI
tertentu
|
3
|
Spesies ikan nila yang memiliki potensi tinggi terhadap penyebaran
TiLV memiliki tingkat produksi yang tinggi sehingga risiko sebagai media
pembawa terhadap potensi penyebaran HPIK/HPI masih tinggi
|
8
|
Epidemologi
|
2
|
Epidemologi TiLV di negara-negara yang terinfeksi telah
teridentifikasi meskipun masih dikhawatirkan masih ada beberapa negara yang
belum menyatakan sebagai negara infeksi TiLV.
|
9
|
Spesifikasi inang
|
3
|
TiLV hanya menyerang ikan nila hibrida dan ikan nila liar di Israel,
Mesir, Ekuador, dan Thailand. Spesies tersebut dapat menjadi media pembawa
yang rentan (susceptible).
|
10
|
Dampak ekonomi
|
3
|
Wabah TiLV dapat memberikan dampak yang cukup merugikan secara
ekonomis. Kematian ikan lebih dari 80% dan penurunan hasil tangkapan dapat
menyebabkan kerugian ekonomi sekitar USD 100 juta (98.000 metrik ton). Selain
kerugian ekonomi, TiLV juga menyebabkan penurunan kualitas media pembawa dan
keragaman hayati komoditas perikanan
|
11
|
Dampak biologi
|
3
|
TiLV dapat menyebabkan kerugian penurunan biodiversitas komoditas
perikanan melalui ancaman spesies asli ikan Indonesia.
|
Total
|
29
|
Risiko tinggi
|
Penilaian risiko juga dapat dilakukan berdasarkan status negara asal TiLV. Status negara asal TiLV dibedakan menjadi negara wabah (Israel, Mesir, Ekuador, Thailand dan Taiwan) dan negara berisiko (negara-negara yang berpeluang terpapar TiLV) (Kep-BKIPM 2017) (Lampiran 1 dan Lampiran 2). Negara-negara yang berisiko terinfeksi TiLV memiliki potensi terinfeksi TiLV karena melakukan impor ikan nila, memiliki kedekatan geografis dengan negara wabah TiLV serta memiliki hubungan perdagangan media pembawa TiLV (Dong et al. 2017b).
Berdasarkan hasil analisis risiko penyakit TiLV tersebut diketahui bahwa pemasukan TiLV ke Indonesia memiliki risiko yang tinggi dengan skor total 29, baik pada risiko infeksi TiLV, risiko terhadap negara wabah dan risiko terhadap negara yang berisiko tinggi terhadap penyebaran penyakit TiLV. Penilaian tersebut didasarkan dari beberapa faktor salah satunya keberadaan dan penyebaran TiLV di Indonesia yang masih belum ada (bebas TiLV) dan penyakit TiLV masih termasuk dalam daftar HPIK golongan 1. Selain belum ditemukan di Indonesia, TiLV dapat menyebabkan kerugian ekonomi dan biologis yang cukup tinggi. Hal tersebut yang menyebabkan tingginya risiko pemasukan TiLV ke Indonesia (Kep-BKIPM 2017). Kegiatan pengobatan untuk infeksi TiLV belum ditemukan. Namun kegiatan pencegahan dapat dilakukan dengan penerapan biosekuriti yang ketat, manajemen kegiatan budidaya dan penerbitan kebijakan terkait pelarangan kegiatan perdagangan dari negara yang terinfeksi (CGIAR 2017). Dong et al. (2017a) merekomendasikan beberapa tindakan yang harus diambil untuk mencegah terjadinya penyebaran infeksi TiLV. Rekomendasi tersebut di antaranya adalah:
a. Pelaksanaan kegiatan surveilan yang segera dilakukan khususnya pada 43 negara yang berisiko tinggi terkena infeksi TiLV karena virus tersebut dapat disebarkan secara langsung dan tidak langsung melalui perpindahan benih dan juvenil ikan nila dari 5 negara yang terinfeksi.
b. Penerapan biosekuriti untuk mencegah penyebaran TiLV secara luas khususnya di negara-negara yang tidak tercatat sebagai negara berisiko terinfeksi TiLV.
c. Penggunaan vaksin untuk meningkatkan sistem imun ikan mungkin tidak bisa dijadikan sebagai langkah pencegahan yang efektif karena infeksi TiLV terjadi pada stadia awal ikan nila (telur terbuahi, benih dan juvenil).
d. Melakukan penelitian terkait metode deteksi TiLV yang lebih akurat dan cepat pada induk ikan nila sehingga benih dan juvenil ikan nila yang bebas TiLV dapat dilakukan.
e. Pelaksanaan beberapa program khusus untuk mendukung pengembangan stok induk ikan nila yang bebas TiLV dan patogen lainnya (specific pathogen free (SPF)) untuk mengurangi dampat penyakit global ikan nila.
f. Penelitian terkait hubungan virulensi TiLV dan ikan nila seperti status kesehatan, genetik dan lain-lain harus dilakukan untuk mengurangi risiko tingkat kematian massal pada ikan nila yang terinfeksi TiLV.
Manajemen Risiko
Berdasarkan hasil penilaian risiko tersebut, maka dibutuhkan kegiatan manajemen risiko agar dampak merugikan dari introduksi TiLV ke Indonesia dapat diminimalisir dan dihilangkan. Manajemen risiko dapat dilakukan dengan melarang proses pemasukan ikan nila ke wilayah Indonesia hingga batas waktu tertentu. Dalam kondisi kegiatan importasi ikan nila harus dilakukan makan harus memenuhi persyaratan proses manajemen risiko yang disesuaikan dengan negara asal ikan yang akan diimpor, yaitu dari negara bebas TiLV, negara berisiko TiLV, dan daerah domestik (antar daerah). Persyaratan importasi yang harus dipenuhi mencakup kegiatan karantina sebelum pemasukan (pre-quarantine), saat pemasukan (in-quarantine) dan setelah pemasukan (post-quarantine) (Tabel 2) (Kep-BKIPM 2017).
Tabel 2 Persyaratan kegiatan importasi ikan dari negara bebas, negara berisiko dan domestik (antar daerah) (Kep-BKIPM 2017).
No.
|
Tahap karantina
|
Syarat
|
Negara bebas
TiLV
|
||
1
|
Sebelum pemasukan
|
a.
Negara eksportir telah melakukan program surveilan
dan dilengkapi dengan hasil screening bebas
TiLV minimal 2 tahun serta memiliki Health
Certificate (HC) yang diterbitkan
oleh otoritas kompeten sesuai dengan metode standar
b. Negara eksportir
telah menerapkan prinsip Good
Aquaculture Practices (GAP) dengan grade A.
c.
Dilarang menurunkan atau transit media pembawa di
negara yang tidak bebas TiLV (negara wabah) yang dibuktikan dengan Surat Muat
Udara atau Bill of Loading.
|
2
|
Saat pemasukan
|
a.
Ikan yang diimpor harus melalui 5 bandar udara yang
ditetapkan (BBKIPM Jakarta I, BKIPM kelas I Medan I, BKIPM kelas I Denpasar,
dan BBKIPM Makasar).
b. Barang yang
diimpor harus dilaporkan dan diserahkan ke petugas karantina.
c.
Pihak pengimpor harus dilengkapi dengan sertifikat
Cara Karantina Ikan yang Baik (CKIB) dengan Grade A dan Cara Budidaya Ikan
yang Baik (CBIB)/ GAP dengan grade A.
d. Barang yang
diimpor harus dilengkapi dengan HC dan/atau Certificate of Origin (CoO) yang diterbitkan oleh instansi
berwenang di negara asal.
e.
Pengimpor harus melampirkan Surat Izin Pemasukan
Ikan Hidup yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
f.
Pengimpor harus melampirkan Surat Ijin Pemasukan
Hasil Perikanan yang diterbitkan oleh Ditjend PDSPKP/
g. Pengekspor harus
melampirkan Laporan Hasil Uji (LHU) dengan metode uji sesuai dengan metode
standar dan Surat Muat Udara (Bill of
Loading).
|
3
|
Setelah pemasukan
|
Kegiatan karantina harus dilakukan selama 14 hari sejak surat rilis
(pelepasan) diterbitkan.
|
Negara berisiko TiLV
|
||
4
|
Sebelum pemasukan
|
a.
Ikan nila yang diimpor berasal dari unit usaha
budidaya yang telah melakukan surveilen selama 2 tahun dan dilengkapi dengan
laporan hasil screening bebas TiLV
minimal 2 tahun.
b. Pengekspor
melampirkan HC yang diterbitkan oleh otoritas kompeten di negara asal dengan
metode standar
c.
Pengekspor telah menerapakan prinsip GAP dengan
grade A.
d. Pengekspor
dilarang menurunkan atau transit media pembawa di negara wabah yang
dibuktikan dengan Surat Muat Udara.
|
5
|
Saat pemasukan
|
Tindakan karantina dilakukan sesuai dengan ketentuan pemasukan dari
negara bebas.
|
6
|
Setelah pemasukan
|
Kegiatan pemantauan dilakukan sesuai dengan ketentuan pemasukan dari
negara bebas.
|
Domestik
|
||
7
|
a.
Melakukan surveilan aktif dan pasif dengan hasil uji
TiLV negatif
b. Ikan nila yang
akan dikirim harus dilengkapi dengan HC dan LHU bebas TiLV dengan metode uji
sesuai standar.
c.
Pelaku usaha yang akan melalulintaskan ikan nila
telah menerapkan CBIB, Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CBIP) dan CKIB dengan
grade minimal B secara konsisten.
|
|
8
|
Penetapan kawasan karantina terhadap area teridentifikasi positif
TiLV.
|
Komunikasi Risiko
Komunikasi risiko dilakukan dengan mengumpulkan informasi dan opini terkait bahaya dan risiko yang akan diterima oleh semua pihak terkait dalam kegiatan analisis risiko impor serta penyampaian hasil analisis dan pengelolaan risiko di negara pengimpor dan pengekspor. Komunikasi risiko dilakukan dengan melalui beberapa tahap, diantaranya tahap identifikasi bahaya, penilaian risiko dan manajemen risiko TiLV pada ikan nila sebelum ditetapkan menjadi suatu kebiajakan importasi dan lalu lintas domestik di Indonesia. Hasil analisis risiko HPI akan dinilai secara bersama-sama oleh beberapa pihak yang kompeten seperti pakar ahli di bidang kesehatan ikan yang bergabung dalam tim, pembuatan kebijakan, pembudidaya, pelaku usaha dan tenaga fungsional PHPI karantina ikan. Hasil analisis yang diperoleh akan disosialisasikan kepada pihak terkait seperti Dirjen Perikanan Budidaya (DJBP) sebagai instansi yang berwenang dalam perizinan impor, Pusat Riset Perikanan, Badan Riset Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), akademisi dan pelaku usaha perikanan (importir dan eksportir). Sosialisasi dilakukan untuk memberikan informasi dan pemahaman yang lebih baik terkait proses analisis risiko TiLV pada ikan nila serta sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan manajemen risiko yang diambil (Kep-BKIPM 2017).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penilaian analisis risiko diperoleh hasil bahwa wabah TiLV termasuk hama dan penyakit ikan yang sangat berisiko dengan skor hasil analisis sebesar 29. Hal yang perlu dilakukan adalah mewaspadai impor ikan nila dan media pembawa dari negara wabah TiLV dan negara yang berisiko. Selain itu, pengengolaan risiko dilakukan untuk mengantisipasi masuk dan menyebarnya TiLV ke Indonesia. Langkah yang dapat dilakukan adalah penerapan karantina sebelum pemasukan (pre-quarantine), saat pemasukan (in-quarantine) dan setelah pemasukan (post-quarantine).
LAMPIRAN
Lampiran 1 Kriteria penilaian risiko terhadap negara wabah TiLV (Kep BKIPM 2017)
No.
|
Faktor
|
Katogeri
|
Nilai asumsi
|
Uraian
|
Penilaian
|
1.
|
Asal media pembawa
|
a. Berasal dari negara yang terdapat patogen
yang belum ada di wilayah atau sebagian wilayah RI/ Gol I
b. Berasal dari kawasan yang sedang terdapat
wabah penyakit atau berasal dari negara yang bukan negara anggota OIE
c. Berasal dari negara yang belum menerapkan
sistem perkarantinaan ikan (good
quarantine system)
d. Berasal dari kawasan budidaya yang belum
menerapkan good aquaculture system
|
3
2
1
|
Bila kategori a dan/atau b terpenuhi
Bila kategori a dan b tidak terpenuhi dan sekurang-kurangnya 2
kategori lainnya
Bila kategori a dan b tidak terpenuhi tetapi satu kategori lainnya
terpenuhi
|
3
|
2.
|
Tingkat virulensi HPI
|
a. Kematian >60% dalam waktu < 72 jam
b. Kematian 30-60% dalam waktu 3-14 hari
c. Kematian <30% dalam waktu >14 hari
|
3
2
1
|
3
|
|
3
|
Kemampuan HPI bertahan hidup
|
a. Mampu hidup di dalam tubuh inang yang hidup
ataupun yang mati dan berasosiasi dengan aquatic
plant, dan krustase lainnya.
b. Mampu hidup di dalam tubuh inang yang hidup
ataupun yang mati
c. Hanya mampu hidup di dalam tubuh inang hidup
|
3
2
1
|
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi
Bila kategori c terpenuhi
|
2
|
4.
|
Tingkat kesulitan deteksi HPIK
|
a. Belum ada metode deteksi standar
b. Sudah ada metode deteksi standar
|
3
1
|
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi
|
1
|
5
|
Tingkat kesulitan pengendalian HPIK
|
a. Tidak bisa dilakukan pengendalian
b. Bisa dilakukan pengendalian
|
3
1
|
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi
|
3
|
6
|
Lingkungan yang mempengaruhi perkembangan HPI
|
a. Kondisi lingkungan perairan sangat mendukung
untuk perkembangan HPI
b. Kondisi lingkungan perairan kurang mendukung
perkembangan HPI
c. Kondisi lingkungan perairan tidak
mendukung/tidak sesuai untuk perkembangan HPI
|
3
2
1
|
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi
Bila kategori c terpenuhi
|
3
|
7
|
Tingkat risiko media pembawa terhadap potensi Penyebaran HPI
|
a. Media pembawa berpotensi tinggi terhadap
penyebaran penyakit
b. Media pembawa berpotensi sedang terhadap
penyebaran penyakit
c. Media pembawa berpotensi rendah terhadap
penyebaran penyakit
|
3
2
1
|
Susceptible
host yang dibudidayakan secara luas
Susceptible
host dibudidayakan secara terbatas
Host
yang
tidak ada kaitannya dengan penyakit untuk konsumsi
|
3
|
8
|
Epidemiologi
|
a. Epidemiologi HPI negara asal sama sekali
tidak diketahui
b. Epidemiologi HPI
negara asal baru sebagian diketahui.
c. Epidemiologi HPI negara asal telah diketahui
secara lengkap
|
3
2
1
|
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi.
Bila kategori c terpenuhi
|
2
|
9
|
Spesifikasi inang
|
a. Media pembawa yang rentan/ Susceptible
b. Media pembawa
yang tidak rentan dan bukan carrier/
non susceptible
|
3
1
|
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi
|
3
|
10
|
Dampak ekonomi
|
a. Menurunnya kuantitas produksi media pembawa
b. Menurunnya
kualitas media pembawa
c. Menurunnya
keragaman hayati komoditas perikanan
|
3
2
1
|
Bila ketiga kategori terpenuhi
Bila dua kategori terpenuhi
Bila satu kategori terpenuhi.
|
3
|
11
|
Dampak biologi
|
a. Mengancam spesies asli
b. Belum diketahui spesies asli
c. Tidak mengancam
spesies asli
|
3
2
1
|
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi
Bila kategori c terpenuhi
|
3
|
Total nilai
|
29
|
||||
Hasil penilaian risiko terhadap negara wabah TiLV:
risiko tinggi
|
Lampiran 2 Penilaian risiko terhadap negara berisiko tinggi terhadap penyebaran penyakit TiLV.
No.
|
Faktor
|
Katogeri
|
Nilai asumsi
|
Uraian
|
Penilaian
|
||
1.
|
Asal media pembawa
|
a.Berasal dari negara yang
terdapat patogen yang belum ada di wilayah atau sebagian wilayah RI/ Gol I
b.Berasal dari kawasan yang
sedang terdapat wabah penyakit atau berasal dari negara yang bukan negara
anggota OIE
c.Berasal dari negara yang
belum menerapkan sistem perkarantinaan ikan (good quarantine system)
d.Berasal dari kawasan
budidaya yang belum menerapkan good
aquaculture system
|
3
2
1
1
|
Bila kategori a dan/atau b terpenuhi
Bila kategori a dan b tidak terpenuhi dan sekurang-kurangnya 2
kategori lainnya
Bila kategori a dan b tidak terpenuhi tetapi satu kategori lainnya
terpenuhi
|
3
|
||
2.
|
Tingkat virulensi HPI
|
a. Kematian >60%
dalam waktu < 72 jam
b.Kematian 30-60% dalam waktu
3-14 hari
c. Kematian <30%
dalam waktu >14 hari
|
3
2
1
|
3
|
|||
3
|
Kemampuan HPI bertahan hidup
|
a.Mampu hidup di dalam tubuh
inang yang hidup ataupun yang mati dan berasosiasi dengan aquatic plant, dan krustase lainnya.
b.Mampu hidup di dalam tubuh
inang yang hidup ataupun yang mati
c.Hanya mampu hidup di dalam
tubuh inang hidup
|
3
2
1
|
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi
Bila kategori c terpenuhi
|
2
|
||
4.
|
Tingkat kesulitan deteksi HPIK
|
a.Belum ada metode deteksi
standar
b.Sudah ada metode deteksi
standar
|
3
1
|
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi
|
1
|
||
5
|
Tingkat kesulitan pengendalian HPIK
|
a.Tidak bisa dilakukan
pengendalian
b.Bisa dilakukan pengendalian
|
3
1
|
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi
|
3
|
||
6
|
Lingkungan yang mempengaruhi perkembangan HPI
|
a.Kondisi lingkungan perairan
sangat mendukung untuk perkembangan HPI
b.Kondisi lingkungan perairan
kurang mendukung perkembangan HPI
c.Kondisi lingkungan perairan
tidak mendukung/tidak sesuai untuk perkembangan HPI
|
3
2
1
|
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi
Bila kategori c terpenuhi
|
3
|
||
7
|
Tingkat risiko media pembawa terhadap potensi Penyebaran HPI
|
a.Media pembawa berpotensi
tinggi terhadap penyebaran penyakit
b.Media pembawa berpotensi
sedang terhadap penyebaran penyakit
c. Media pembawa
berpotensi rendah terhadap penyebaran penyakit
|
3
2
1
|
Susceptible
host yang dibudidayakan secara luas
Susceptible
host dibudidayakan secara terbatas
Host
yang
tidak ada kaitannya dengan penyakit untuk konsumsi
|
3
|
||
8
|
Epidemiologi
|
a.Epidemiologi HPI negara asal
sama sekali tidak diketahui
b.
Epidemiologi HPI negara asal baru sebagian
diketahui.
c.Epidemiologi HPI negara asal
telah diketahui secara lengkap
|
3
2
1
|
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi.
Bila kategori c terpenuhi
|
2
|
||
9
|
Spesifikasi inang
|
a.Media pembawa yang rentan/ Susceptible
b.Media pembawa yang tidak
rentan dan bukan carrier/ non
susceptible
|
3
1
|
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi
|
3
|
||
10
|
Dampak ekonomi
|
a.Menurunnya kuantitas
produksi media pembawa
b.Menurunnya kualitas media
pembawa
c.Menurunnya keragaman hayati komoditas
perikanan
|
3
2
1
|
Bila ketiga kategori terpenuhi
Bila dua kategori terpenuhi
Bila satu kategori terpenuhi.
|
3
|
||
11
|
Dampak biologi
|
a.Mengancam spesies asli
b.Belum diketahui spesies asli
c.Tidak mengancam spesies asli
|
3
2
1
|
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi
Bila kategori c terpenuhi
|
3
|
||
Total nilai
|
29
|
||||||
Hasil penilaian risiko terhadap negara berpotensi
tinggi terhadap penyebaran TiLV: Risiko tinggi
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar