Jumat, 14 Februari 2014

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI CENDAWAN PATOGEN



DILARANG KERAS MELAKUKAN COPY PASTE... JANGAN RUGIKAN DIRI ANDA SENDIRI!!! POSTINGAN INI HANYA SALAH SATU JALAN UNTUK MEMPERMUDAH KALIAN MENCARI LITERATUR. UNTUK LEBIH LENGKAPNYA SILAHKAN LIHAT DAFTAR PUSTAKA N SEARCHING SENDIRI... SEMUA SUMBERNYA TERSEDIA DI GOOGLE... HEHEHEHEH,,, :)

Laporan Praktikum ke-3                     Hari/Tanggal   : Kamis/ 10 Oktober 2013
m.k Penyakit Organisme Akuatik        Kelompok       : XIII
                                                          Asisten            : Dendi Hidayatullah, S.Pi






ISOLASI DAN IDENTIFIKASI CENDAWAN PATOGEN




Disusun oleh:
Dian Novita Sari
C14134005
















DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
I.    PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Ikan merupakan sumber protein hewani yang mengandung protein tinggi, harga ekonomis, dan mudah dicerna oleh tubuh (Purwaningsih 2013). Contoh ikan yang tergolong ekonomis dan komersial adalah ikan Lele (Clarias sp.). Ikan ini banyak dibudidayakan di seluruh Indonesia dan bisa dibudidayakan dalam berbagai bentuk wadah serta digemari masyarakat.
Salah satu faktor yang bisa mengganggu proses budidaya adalah penyakit, baik yang bersifat infeksius maupun yang noninfeksius. Penyakit infeksius disebabkan oleh parasit, bakteri, fungi/cendawan, dan virus, sedangkan yang non infeksius disebabkan oleh kualitas pakan yang kurang baik, kondisi lingkungan, dan genetik. Penyakit dapat timbul akibat hasil interaksi yang tidak seimbang antara ikan, kondisi lingkungan, dan organisme atau agen penyebab penyakit (Afrianto dan Liviawaty 1992 dalam Purwaningsih 2013).
Salah satu penyebab penyakit infeksius adalah cendawan. Cendawan merupakan kelompok organisme yang bersifat saprofit. Cendawan menjadi masalah saat ikan mengalami stress akibat kondisi lingkungan yang buruk, nutrisi yang buruk, dan kondisi ikan yang kurang baik akibat luka. Infeksi cendawan dalam akuakultur juga dapat menyerang telur sehingga derajat penetasan telur menjadi rendah (Irianto 2005).
Isolasi dan identifikasi cendawan perlu dilakukan agar bentuk-bentuk cendawan akuatik khususnya penyebab penyakit mikotik pada ikan dapat diketahui. Selain itu, pengetahuan mengenai hubungan antara cendawan dengan inangnya juga perlu diketahui untuk penentuan tindakan pencegahan dan penanganan (pengobatan). 

1.2        Tujuan
Tujuan dari praktikum kali ini adalah agar mahasiswa mengetahui bentuk-bentuk cendawan akuatik penyebab penyakit mikotik pada ikan beserta cara reproduksi, serta mengetahui cara penanganan cendawan dari tahap isolasi, pewarnaan, sampai tahapan kultur untuk memudahkan dilakukannya identifikasi.
II.     METODOLOGI

2.1    Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Kamis, 03 Oktober 2013, pukul 15.00-18.00 WIB. Praktikum ini dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor..

2.2    Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah tusuk gigi, kamera, tisu, cover glass, object glass, mikroskop, cawan petri, bunsen, sprayer, inkubator, korek api, dan alat tulis. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah telur yang telah jamuran, alcohol 70%, Chloramphenicol, Glucose Yeast Agar (GYA), Methylen Blue, tempe, dan akuades.

2.3    Prosedur
2.3.1        Cara Isolasi Cendawan
Semua alat dan bahan disiapkan. Setelah itu dilakukan kultur cendawan dengan teknik aseptik. Sebelum kultur, terlebih dahulu meja kerja dan tangan operator disterilisasi dengan alkohol 70%. Setelah itu, bunsen dinyalakan dan sampel cendawan diambil dengan menggunakan pinset atau tusuk gigi, lalu dikeringkan dengan tisu. Selanjutnya, tepian cawan petri yang telah berisi GYA dan Chloramphenicol dipanaskan dan dibuka perlahan di dekat bunsen. Kemudian sampel cendawan diletakkan di tengah-tengah media. Setelah itu, cawan ditutup dan dieratkan dengan menggunakan wrap, lalu dimasukkan ke dalam inkubator dan dibiarkan selama ±3 hari (72 jam). Cendawan yang ditumbuh diamati dan diameternya diukur serta didokumentasikan.

2.3.2        Identifikasi Cendawan pada Telur Ikan Lele (Clarias sp.)
Semua alat dan bahan disiapkan. Kemudian telur yang telah jamuran dan jamur pada tempe diambil dan masing-masing diletakkan di atas kaca objek yang berbeda. Cendawan dari tempe (Rhizophus sp.) digunakan sebagai bahan perbandingan. Selanjutnya, preparat diberi akuades atau air sebanyak 1-2 tetes dan ditutup dengan kaca penutup. Lalu, preparat diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 40x. Setelah itu, cendawan diidentifikasi berdasarkan letak sporanya. Selanjutnya, cendawan didokumentasikan dan digambar.


I.        HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1  Hasil
Cendawan diisolasi dari telur ikan Lele (Clarias sp.) yang gagal menetas.  Hasil isolasi cendawan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Isolasi Cendawan pada TelurIkan Lele (Clarias sp.)
Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa diameter cendawan terpanjang ditemukan pada kelompok 13. Hal tersebut menandakan bahwa laju pertumbuhan cendawan pada kelompok 13 lebih cepat jika dibandingkan dengan kelompok lain. Pada kelompok 10, cendawan yang diisolasi tidak tumbuh. Pada kelompok 9 ditemukan kontaminasi berupa bakteri yang tumbuh dalam media. Meskipun media telah diberi antibiotik, bakteri kontaminan tetap dapat tubuh dan hal tersebut menandakan bahwa bakteri yang tumbuh kemungkinan resisten terhadap antibiotik yang digunakan, yaitu Chlorampenichol.

3.1  Pembahasan
Cendawan atau yang biasa juga dikenal dengan fungi merupakan organisme berfilamen, non-fotosintetik, dan merupakan organisme eukaryotik heterotrofik. Secara umum, thallus cendawan terdiri dari 2 bagian yaitu miselium dan spora. Miselium tersusun oleh jalinan hifa yang merupakan satuan seluler cendawan. Hifa merupakan bentukan seperti benang tubular tunggal dengan dinding sel yang mengandung khitin mikrofibril semikristalin yang terpadu dengan matriks amorf β–glukan, dan beberapa protein mungkin ikut menyusun dinding selnya (Irianto 2005).
Cendawan akuatik umumnya berasal dari cendawan kelas Oomycetes, antara lain: Saprolegnia sp., Allomyces sp., Macrogynus sp., Rhizidiomyces arbuscula, Phytophthora infestans, dan Plasmodiophora brassica. Cendawan tersebut menghasilkan spora yang muda disebarkan dalam lingkungan akuatik. Spora yang dihasilkan umumnya tahan terhadap pengaruh lingkungan yang kurang menguntungkan seperti kekeringan, panas, senyawa desinfektan, dan sistem pertahanan tubuh pada ikan. Tiga penyakit mikosis (penyakit yang disebabkan oleh cendawan) yang umum menyerang ikan adalah saprolegniasis, brachiomycosis, dan Ichthyphonus (Irianto 2005). Studi tentang penyakit mikotik pada ikan air tawar di Asia Tenggara sejak 1999 hingga 2004 menunjukkan 160 cendawan yang diisolasi berasal dari 4 genera, yaitu Saprolegnia, Achlya, Leptolegnia, dan Aphanomyces (Chukanhom 2005 dalam Firooz et al 2011).
Penyakit saprolegniasis disebabkan oleh Saprolegnia sp., Achlya sp., dan Aphanomyces sp.. Agen saprolegniasis merupakan jasad oportunis karena infeksinya difasilitasi oleh adanya luka atau borok atau sering dikenal sebagai agen penginfeksi sekunder. Saprolegnia sp., Achlya sp., dan Aphanomyces sp. merupakan cendawan dengan hifa tanpa septat yang bercabang dan merupakan flora normal perairan yang menyerang jaringan epidermis yang mengalami gangguan atau kerusakan akibat penanganan yang kurang baik. Ketiga cendawan ini menghasilkan zoospora yang bergerak dengan flagella yang dihasilkan pada sporangia di ujung hifa (Irianto 2005). 
Saprolegniasis menyerang ikan dan telur ikan terutama pada ikan air tawar maupun payau, bahkan pada ikan air laut (Irianto 2005). Pada dasarnya, salinitas lebih dari 2,8‰ telah menghambat penyebaran agen penyebab penyakit saprolegniasis (Robert 1989 dalam Irianto 2005). Secara klinis, saprolegniasis diketahui dengan adanya miselium berwarna putih, abu-abu gelap hingga kecokelatan pada kulit, insang, sirip, atau telur sehingga telur menjadi gagal menetas. Infeksi lanjut dapat menyebabkan luka nekrotik pada jaringan otot tubuh ikan. Kematian yang ditimbulkan saprolegniasis umumnya akibat osmosis atau respirasi karena infeksi pada insang atau kulit yang cukup luas atau berat (Irianto 2005). Pada telur, Saprolegnia sp. dapat menyebabkan kematian dengan cara Saprolegnia sp. tumbuh dan masuk ke dalam dinding sel sehingga mengurangi proses aliran air dan sekresi enzim dalam sel telur (Firooz et al 2011).
Saprolegnia sp. memiliki siklus hidup yang kompleks, yaitu secara seksual dan aseksual. Reproduksi seksual dilakukan dengan menghasilkan antheridium dan ooginium gametangia dalam proses fertilisasi (Pickering and Willoughby 1982 dalam Mayer 2005). Reproduksi aseksual dilakukan dengan menghasilkan zoospora primer. Zoospora primer hanya aktif dalam waktu yang singkat sebelum membentuk encyst lalu membelah dan menghasilkan zoospora sekunder (Willoughby 1994 dalam Mayer 2005). Zoospora sekunder hidup dan bergerak lebih lama dan diduga sebagai fase dispersi utama pada Saprolegnia (Beakes et al 1994 dalam Mayer 2005). Siklus hidup Saprolegnia sp. dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Siklus Hidup Saprolegnia sp.
Sumber : Mayer 2005
Secara histologis, infeksi Saprolegnia sp. dapat diketahui dengan adanya peradangan pada granuloma yang meluas (7-14µm) dan dipenuhi hifa yang tidak berseptat. Saprolegnia sp. dapat tumbuh pada suhu 0-350C dengan suhu optimum 15-300C. Cendawan ini akan menginfeksi saat terdapat luka pada tubuh ikan dan menyebar ke jaringan-jaringan yang masih sehat. Tingkat infeksius cendawan ini dapat dipengaruhi oleh suhu, DO (Dissolved oxygen) yang rendah, NH3 yang tinggi, dan kandungan bahan organik yang tinggi, serta penanganan yang kurang baik (Irianto 2005). Penyebaran Saprolegnia sp. pada telur yang terinfeksi terjadi melalui perpindahan spora dari telur mati ke telur hidup melalui mekanisme kemotaksis positif (Bruno and Wood 1999 dalam Mayer 2005).
Perbedaan antara Saprolegnia sp. dengan Aphanomyces sp adalah Saprolegnia sp. memiliki hifa yang lebih besar yakni 26-40 µm, ujung hifa membulat dengan sporulasi tanpa membentuk kista di mulut sporangium (langsung menyebar). Ukuran sporangium Saprolegnia sp. adalah 395-497 µm, diameter hifa 26.71- 41.28 µm, diameter spora 6,5-11,5 µm, diameter ooginium 7.28-21.86 µm, memiliki tipe sporulasi berupa spora yang memadati sporangium, dan keluar melalui ujung sporangium (Protuberant tip). Sporangium berbentuk mengembung, batas hifa dan sporangium terlihat jelas (Nuryati et al 2008). Diameter cendawan yang ditemukan berkisar antara 20-96 mm. Diameter cendawan pada kelompok 13 lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok lain. Hal tersebut menandakan laju pertumbuhan cendawan pada kelompok 13 lebih cepat. Pada kelompok 10, cendawan yang diisolasi tidak tumbuh dan pada kelompok 9 ditemukan kontaminasi berupa bakteri yang tumbuh dalam media. Meskipun media telah diberi antibiotik, bakteri kontaminan tetap dapat tubuh dan hal tersebut menandakan bahwa bakteri yang tumbuh kemungkinan resisten terhadap antibiotik yang digunakan, yaitu Chlorampenichol. Perbedaan diameter cendawan yang tumbuh kemungkinan disebabkan oleh media kultur yang kurang subur dan suhu yang kurang optimum. Semua isolat disimpan di dalam inkubator yang sama, namun posisi isolat di dalam inkubator berbeda-beda, sehingga kemungkinan juga perbedaan letak penyimpanan yang menyebabkan kondisi lingkungan berbeda.
Aphanomyces sp. merupakan cendawan yang memiliki miselium berdiameter 5-15 µm dan sedikit bercabang. Cendawan ini memiliki zoospora yang muncul di ujung sporangium dengan bentuk yang memanjang, kemudian menjadi kista (encyst) di sekitar ujung sporangium. Zoospora terbentuk dari hifa vegetatif dengan diameter sama dan tidak digunakan untuk reproduksi. Cendawan ini memiliki hifa yang bercabang, tidak bersepta, dan berpigmen (Alderman 1982 dalam Mulyani 2006). Ciri-ciri Aphanomyces sp. parasitik adalah menghasilkan kantung spora yang banyak (lebih dari satu) dan keluar dari bagian tengah (samping) hifa, sedangkan Aphanomyces sp. saprofitik hanya menghasilkan satu cluster spora yang dikeluarkan dari bagian terminal (ujung hifa) (Roberts et al 1978 dalam Mulyani 2006).
Achlya sp. merupakan cendawan yang mirip dengan Saprolegnia sp.. Perbedaan Achlya sp. dengan Saprolegnia sp. adalah Achlya sp. memiliki sporangium yang terletak di ujung hifa, memiliki tiga zoospora (polyplanetism), zoospora primer tidak memiliki flagel yang keluar secara bergerombol yang sebelumnya mengumpul di mulut zoosporangia; siste primer dibentuk pada mulut sporangium dan masih bergerombol; pembentukan sporangium kedua terjadi dengan membentuk cabang di bawah sporangium pertama yang telah kosong; zoospora sekunder dan tersier memiliki bentuk reniform dan memiliki dua flagel sedangkan zoospora primer berbentuk pyriform dan tidak berflagel; dan pada reproduksi seksual, zoospora yang dihasilkan 1-10 per oogonia (Sharma 1989 dalam Mulyani 2006).
Gambar 2. Zoospora pada 1) Saprolegnia sp., 2) Achlya sp, dan 3) Aphanomyces sp.
(Sumber: Noga 2000 dalam Mulyani 2006)

Rhizophus sp. yang digunakan sebagai bahan perbandingan merupakan cendawan yang umum digunakan dalam pembuatan tempe. Cendawan ini memiliki sporangium yang berukuran makroskopis sehingga bisa dilihat tanpa menggunakan mikroskop. Sporangiumnya dapat dilihat dengan melihat bintik atau titik yang berwarna hitam pada bagian tengah misella yang berwarna putih. Cendawan ini juga memiliki kemampuan untuk menjadi patogen, yakni menyebabkan penyakit zygomycosis, yang terjadi terutama pada penderita diabetes ketoasidosis (penyakit rhinocerebral), malnutrisi, luka bakar parah, dan yang memiliki system imun yang rendah (Anonim 2013). Ciri morfologi koloni Rhizophus sp. adalah memiliki hifa seperti benang berwarna putih sampai kelabu hitam, pada bagian tertentu tampak sporangium dan sporangiofora berupa titik-titik hitam seperti jarum pentul. Ciri mikroskopisnya berupa hifa tanpa sekat, memiliki rizoid dan sporangiospora (Susilowati dan Listyawati 2001). Pada pengamatan preparat Rhizophus sp. tidak ditemukan spora karena cendawan yang tumbuh pada tempe yang digunakan masih muda sehingga sporanya belum tumbuh.
Media yang digunakan berupa Glucose Yeast Agar (GYA). GYA mengandung glukosa yang digunakan sebagai sumber energi. Selain menggunakan GYA, kultur cendawan juga dapat dilakukan dengan menggunakan media MEA (Malt Extract Agar). MEA mengandung maltosa sebagai sumber energi, dekstrin yang merupakan polisakarida diperoleh dari tepung yang berkualitas tinggi, dan gliserol yang termasuk sumber karbon. Pepton digunakan sebagai sumber nitrogen (BD 2006).
Pada umumnya penyakit mikotik susah untuk dicegah dan ditangani. Meskipun demikian, penggunaan bahan kimia mungkin diperlukan ketika terjadi saprolegeniasis (Mayer 2005). Penanganan pada penyakit yang disebabkan oleh cendawan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu perendaman dalam larutan kalium permanganat dengan dosis 0,1 ppt selama 60-90 menit atau dalam larutan garam dapur dengan dosis 10 ppt selama 1 menit. Pengobatan dilakukan hingga 3 hari berturut-turut (Angin et al 2011). Malachite green merupakan salah satu bahan kimia yang paling efektif untuk mengontrol saprolegniasis (Bruno and Wood 1999 dalam Mayer 2005). Namun, penggunaan Malachite green dalam akuakultur telah banyak dilarang, diantaranya oleh Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya (Marking et al 1994 dalam Mayer 2005). Pemberian formalin 37% juga efektif dalam pengobatan saprolegniasis (Mirchell and Collins 1997 dalam Mayer 2005) dan merupakan satu-satunya bahan antifungi yang terdaftar dapat digunakan dalam bidang akuakultur di Amerika (Bruno and Wood 1999 dalam Mayer 2005). Selain menggunakan bahan kimia, kini infeksi cendawan juga telah dapat dicegah dengan menggunakan fitormaka, yakni dengan menggunakan ekstrak paci-paci dengan dosis 0,5; 1,0 dan 1,5 g/L) (Nuryati et al 2008).
Menurut Bruno and Wood (1999) dalam Mayer (2005), langkah paling efektif dalam mencegah dan mengobati penyakit mikotik adalah kombinasi manajemen (penanganan) ikan dan teknik budidaya yang baik dengan pengobatan (treatmen) kimiawi, khususnya 2-4 hari setelah penanganan (handling) (Hatai dan Hoshiai 1994 dalam Mayer 2005). Hal ini sesuai dengan pendapat Irianto (2005) yang menyatakan bahwa penyakit mikosis dapat diatasi dengan penerapan manajemen yang baik seperti penjagaan kualitas air dan sirkulasi, mengurangi tingkat kepadatan, dan pemberian nutrisi yang baik. Pengobatan saprolegniasis dapat dilakukan dengan menggunakan kalium permangat, formalin dan larutan iodin pavidon, sedangkan sedinfeksi eksternal dapat dilakukan dengan kupri sulfat, malachite green, garam, dan formalin.
Salah satu teknik budidaya yang dapat dilakukan untuk menghindari infeksi cendawan adalah menjaga suhu tetap stabil sehingga pertumbuhan cendawan dapat ditekan. Hatai dan Hoshiai (1992) dalam Firooz et al (2011) menyatakan bahwa gejala saprolegniasis ditemukan ketika suhu turun hingga 180C sehingga disimpulkan bahwa pada suhu rendah, Saprolegnia sp. akan menginfeksi kuat dan menjadi epidemik (Firooz et al 2011).



I.        KESIMPULAN DAN SARAN

1.1    Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa telah mengenal bentuk-bentuk cendawan  akuatik penyebab penyakit mikotik pada ikan beserta cara reproduksinya. Perbedaan Saprolegnia sp., Achlya sp., dan Aphanomyces sp. dapat dilihat pada letak sporangium. Pada Saprolegnia sp. sporangium baru terletak pada di dalam sporangium lama, pada Achlya sp. sporangium baru terletak di ujung hifa (di luar sporangium lama) dan memiliki 3 zoospora, dan pada Aphanomyces sp, sporangium terletak pada ujung hifa dan hanya memiliki 1 zoospora. Reproduksi Saprolegnia sp., Achlya sp., dan Aphanomyces sp. dilakukan secara seksual dan aseksual. Praktikum ini juga telah menambah wawasan mahasiswa tentang cara penanganan cendawan. Jenis-jenis cendawan dapat dilihat dari bentuk dan tipe sporulasi, sekat pada hifa, percabangan hifa, dan jenis spora.

1.2    Saran
Pada praktikum berikutnya diharapkan jenis cendawan yang diisolasi dan media yang digunakan lebih bervariasi.



DAFTAR PUSTAKA
Angin, K.P., Sary, I.R., Sudrajat, M., dan Dardiani. 2011. Paket Diklat Manajemen Produksi dan Sumber Daya Manusia: Mata Diklat Manajemen Produksi. Kementerian Pendidikan Nasional: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian.
Anonim. 2013. Rhizophus sp. –Enviromental Microbiology.Laboratory. www.emlab.com
BD. 2006. Malt Extract Agar. Diakses pada 09 Oktober 2013. Tersedia pada www.bd.com
Firooz, F., et al.. 2011. Freshwater Fungi Isolated From Eggs and Broodstocks with an Emphasis on Saprolegnia in Rainbow Trout Farm in West Iran. African Journal of Microbiology Research Vol 4(22), pp. 3647-3651.
Irianto, Agus. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Yogyakarta: Gadjah Mada University press.
Mayer, Kent. 2005. Saprolegnia: There’s a Fungus Among Us. Oregon: OSU Department of Fisheries and Wildlife. Tersedia pada http://hmsc.oregonstate.edu/classes/MB492/saprokent/saprolegnia.htm. Diakses pada 05 Oktober 2013.
Mulyani, S. 2006. Gambaran Darah Ikan Gurame Osphronemus gouramy yang Terinfeksi Cendawan Achlya sp. pada Kepadatan 320 dan 720 Spora Per mL [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nuryati, S., Suparman, M.A., dan Hadiroseyani, Y.. 2008. Penggunaan Ekstrak Daun Paci-Paci Leucas sp. untuk Pencegahan Penyakit Mikotik pada Ikan Gurame Osphronemus gouramy Lac. Jurnal Akuakultur Indonesia, 7(2): 205-212 (2008).
Purwaningsih, Indah. 2013. Identifikasi Ektoparasit Protozoa Pada Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linnaeus, 1758) di Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UKBAT) Cangkringan Sleman DIY. Yogyakarta (ID): UIN Sunan Kalijaga.
Susilowati, A. dan Listyawati, S. 2001. Keanekaragaman Jenis Mikroorganisme Sumber Kontaminasi Kultur In vitro di Sub-Lab. Biologi Laboratorium MIPA Pusat UNS. Biodiversitas. Vol 2:(1), hal. 110-114. ISSN: 1412-033X. 

LAMPIRAN





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa Itu PCR? Penjelasan Sederhana tentang Teknologi PCR

PCR atau Polymerase Chain Reaction adalah salah satu teknologi penting dalam biologi molekuler. Teknik ini digunakan untuk memperbanyak (me...