DILARANG KERAS MELAKUKAN COPY PASTE... JANGAN RUGIKAN DIRI ANDA SENDIRI!!! POSTINGAN INI HANYA SALAH SATU JALAN UNTUK MEMPERMUDAH KALIAN MENCARI LITERATUR. UNTUK LEBIH LENGKAPNYA SILAHKAN LIHAT DAFTAR PUSTAKA N SEARCHING SENDIRI... SEMUA SUMBERNYA TERSEDIA DI GOOGLE... HEHEHEHEH,,, :)
Laporan Praktikum
ke-3 Hari/Tanggal : Kamis/ 10 Oktober 2013
m.k Penyakit Organisme Akuatik Kelompok : XIII
Asisten : Dendi Hidayatullah, S.Pi
ISOLASI DAN
IDENTIFIKASI CENDAWAN PATOGEN
Disusun oleh:
Dian Novita Sari
C14134005
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN
BOGOR
2013
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Ikan merupakan
sumber protein hewani yang mengandung protein tinggi, harga ekonomis, dan mudah
dicerna oleh tubuh (Purwaningsih 2013). Contoh ikan yang tergolong ekonomis dan
komersial adalah ikan Lele (Clarias
sp.). Ikan ini banyak dibudidayakan di seluruh Indonesia dan bisa dibudidayakan
dalam berbagai bentuk wadah serta digemari masyarakat.
Salah satu
faktor yang bisa mengganggu proses budidaya adalah penyakit, baik yang bersifat
infeksius maupun yang noninfeksius. Penyakit infeksius disebabkan oleh parasit,
bakteri, fungi/cendawan, dan virus, sedangkan yang non infeksius disebabkan
oleh kualitas pakan yang kurang baik, kondisi lingkungan, dan genetik. Penyakit
dapat timbul akibat hasil interaksi yang tidak seimbang antara ikan, kondisi
lingkungan, dan organisme atau agen penyebab penyakit (Afrianto dan Liviawaty
1992 dalam Purwaningsih 2013).
Salah satu
penyebab penyakit infeksius adalah cendawan. Cendawan merupakan kelompok
organisme yang bersifat saprofit. Cendawan menjadi masalah saat ikan mengalami
stress akibat kondisi lingkungan yang buruk, nutrisi yang buruk, dan kondisi
ikan yang kurang baik akibat luka. Infeksi cendawan dalam akuakultur juga dapat
menyerang telur sehingga derajat penetasan telur menjadi rendah (Irianto 2005).
Isolasi dan
identifikasi cendawan perlu dilakukan agar bentuk-bentuk cendawan akuatik
khususnya penyebab penyakit mikotik pada ikan dapat diketahui. Selain itu, pengetahuan
mengenai hubungan antara cendawan dengan inangnya juga perlu diketahui untuk
penentuan tindakan pencegahan dan penanganan (pengobatan).
1.2
Tujuan
Tujuan
dari praktikum kali ini adalah agar mahasiswa mengetahui
bentuk-bentuk cendawan akuatik penyebab penyakit mikotik pada ikan beserta cara
reproduksi, serta mengetahui cara penanganan cendawan dari tahap isolasi,
pewarnaan, sampai tahapan kultur untuk memudahkan dilakukannya identifikasi.
II.
METODOLOGI
2.1
Waktu
dan Tempat
Praktikum ini
dilaksanakan pada hari Kamis, 03 Oktober 2013, pukul 15.00-18.00 WIB. Praktikum
ini dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor..
2.2
Alat
dan Bahan
Alat-alat
yang digunakan adalah tusuk gigi, kamera, tisu, cover glass, object glass, mikroskop, cawan petri, bunsen, sprayer, inkubator, korek api, dan alat
tulis. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah telur yang telah jamuran, alcohol
70%, Chloramphenicol, Glucose Yeast Agar
(GYA), Methylen Blue, tempe, dan akuades.
2.3
Prosedur
2.3.1
Cara
Isolasi Cendawan
Semua alat dan bahan disiapkan. Setelah itu
dilakukan kultur cendawan dengan teknik aseptik. Sebelum kultur, terlebih
dahulu meja kerja dan tangan operator disterilisasi dengan alkohol 70%. Setelah
itu, bunsen dinyalakan dan sampel cendawan diambil dengan menggunakan pinset
atau tusuk gigi, lalu dikeringkan dengan tisu. Selanjutnya, tepian cawan petri
yang telah berisi GYA dan Chloramphenicol dipanaskan dan dibuka perlahan di
dekat bunsen. Kemudian sampel cendawan diletakkan di tengah-tengah media.
Setelah itu, cawan ditutup dan dieratkan dengan menggunakan wrap, lalu dimasukkan
ke dalam inkubator dan dibiarkan selama ±3 hari (72 jam). Cendawan yang
ditumbuh diamati dan diameternya diukur serta didokumentasikan.
2.3.2
Identifikasi
Cendawan pada Telur Ikan Lele (Clarias
sp.)
Semua alat dan
bahan disiapkan. Kemudian telur yang telah jamuran dan jamur pada tempe diambil
dan masing-masing diletakkan di atas kaca objek yang berbeda. Cendawan dari
tempe (Rhizophus sp.) digunakan
sebagai bahan perbandingan. Selanjutnya, preparat diberi akuades atau air
sebanyak 1-2 tetes dan ditutup dengan kaca penutup. Lalu, preparat diamati di
bawah mikroskop dengan perbesaran 40x. Setelah itu, cendawan diidentifikasi berdasarkan
letak sporanya. Selanjutnya, cendawan didokumentasikan dan digambar.
I.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
3.1
Hasil
Cendawan
diisolasi dari telur ikan Lele (Clarias sp.)
yang gagal menetas. Hasil isolasi
cendawan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Isolasi Cendawan pada TelurIkan Lele (Clarias sp.)
Berdasarkan Tabel 1, diketahui
bahwa diameter cendawan terpanjang ditemukan pada kelompok 13. Hal tersebut
menandakan bahwa laju pertumbuhan cendawan pada kelompok 13 lebih cepat jika
dibandingkan dengan kelompok lain. Pada kelompok 10, cendawan yang diisolasi
tidak tumbuh. Pada kelompok 9 ditemukan kontaminasi berupa bakteri yang tumbuh
dalam media. Meskipun media telah diberi antibiotik, bakteri kontaminan tetap
dapat tubuh dan hal tersebut menandakan bahwa bakteri yang tumbuh kemungkinan
resisten terhadap antibiotik yang digunakan, yaitu Chlorampenichol.
3.1
Pembahasan
Cendawan atau
yang biasa juga dikenal dengan fungi merupakan organisme berfilamen,
non-fotosintetik, dan merupakan organisme eukaryotik heterotrofik. Secara umum,
thallus cendawan terdiri dari 2 bagian yaitu miselium dan spora. Miselium
tersusun oleh jalinan hifa yang merupakan satuan seluler cendawan. Hifa
merupakan bentukan seperti benang tubular tunggal dengan dinding sel yang
mengandung khitin mikrofibril semikristalin yang terpadu dengan matriks amorf
β–glukan, dan beberapa protein mungkin ikut menyusun dinding selnya (Irianto
2005).
Cendawan akuatik
umumnya berasal dari cendawan kelas Oomycetes, antara lain: Saprolegnia sp., Allomyces sp., Macrogynus sp.,
Rhizidiomyces arbuscula, Phytophthora infestans, dan Plasmodiophora brassica. Cendawan
tersebut menghasilkan spora yang muda disebarkan dalam lingkungan akuatik.
Spora yang dihasilkan umumnya tahan terhadap pengaruh lingkungan yang kurang
menguntungkan seperti kekeringan, panas, senyawa desinfektan, dan sistem
pertahanan tubuh pada ikan. Tiga penyakit mikosis (penyakit yang disebabkan
oleh cendawan) yang umum menyerang ikan adalah saprolegniasis, brachiomycosis,
dan Ichthyphonus (Irianto 2005).
Studi tentang penyakit mikotik pada ikan air tawar di Asia Tenggara sejak 1999
hingga 2004 menunjukkan 160 cendawan yang diisolasi berasal dari 4 genera,
yaitu Saprolegnia, Achlya, Leptolegnia, dan
Aphanomyces (Chukanhom 2005 dalam Firooz et al 2011).
Penyakit
saprolegniasis disebabkan oleh Saprolegnia
sp., Achlya sp., dan Aphanomyces sp.. Agen saprolegniasis
merupakan jasad oportunis karena infeksinya difasilitasi oleh adanya luka atau
borok atau sering dikenal sebagai agen penginfeksi sekunder. Saprolegnia sp., Achlya sp., dan Aphanomyces sp.
merupakan cendawan dengan hifa tanpa septat yang bercabang dan merupakan flora
normal perairan yang menyerang jaringan epidermis yang mengalami gangguan atau
kerusakan akibat penanganan yang kurang baik. Ketiga cendawan ini menghasilkan
zoospora yang bergerak dengan flagella yang dihasilkan pada sporangia di ujung
hifa (Irianto 2005).
Saprolegniasis
menyerang ikan dan telur ikan terutama pada ikan air tawar maupun payau, bahkan
pada ikan air laut (Irianto 2005). Pada dasarnya, salinitas lebih dari 2,8‰
telah menghambat penyebaran agen penyebab penyakit saprolegniasis (Robert 1989 dalam Irianto 2005). Secara klinis,
saprolegniasis diketahui dengan adanya miselium berwarna putih, abu-abu gelap
hingga kecokelatan pada kulit, insang, sirip, atau telur sehingga telur menjadi
gagal menetas. Infeksi lanjut dapat menyebabkan luka nekrotik pada jaringan
otot tubuh ikan. Kematian yang ditimbulkan saprolegniasis umumnya akibat
osmosis atau respirasi karena infeksi pada insang atau kulit yang cukup luas
atau berat (Irianto 2005). Pada telur, Saprolegnia
sp. dapat menyebabkan kematian dengan cara Saprolegnia sp. tumbuh dan masuk ke dalam dinding sel sehingga mengurangi
proses aliran air dan sekresi enzim dalam sel telur (Firooz et al 2011).
Saprolegnia
sp. memiliki siklus hidup yang kompleks,
yaitu secara seksual dan aseksual. Reproduksi seksual dilakukan dengan
menghasilkan antheridium dan ooginium gametangia dalam proses
fertilisasi (Pickering and Willoughby 1982 dalam
Mayer 2005). Reproduksi aseksual dilakukan dengan menghasilkan zoospora
primer. Zoospora primer hanya aktif dalam waktu yang singkat sebelum membentuk encyst lalu membelah dan menghasilkan
zoospora sekunder (Willoughby 1994 dalam Mayer
2005). Zoospora sekunder hidup dan bergerak lebih lama dan diduga sebagai fase
dispersi utama pada Saprolegnia (Beakes
et al 1994 dalam Mayer 2005). Siklus hidup Saprolegnia
sp. dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Siklus Hidup Saprolegnia sp.
Sumber : Mayer 2005
Secara histologis,
infeksi Saprolegnia sp. dapat
diketahui dengan adanya peradangan pada granuloma yang meluas (7-14µm) dan
dipenuhi hifa yang tidak berseptat. Saprolegnia
sp. dapat tumbuh pada suhu 0-350C dengan suhu optimum 15-300C.
Cendawan ini akan menginfeksi saat terdapat luka pada tubuh ikan dan menyebar
ke jaringan-jaringan yang masih sehat. Tingkat infeksius cendawan ini dapat
dipengaruhi oleh suhu, DO (Dissolved
oxygen) yang rendah, NH3 yang tinggi, dan kandungan bahan
organik yang tinggi, serta penanganan yang kurang baik (Irianto 2005).
Penyebaran Saprolegnia sp. pada telur
yang terinfeksi terjadi melalui perpindahan spora dari telur mati ke telur
hidup melalui mekanisme kemotaksis positif (Bruno and Wood 1999 dalam Mayer 2005).
Perbedaan antara
Saprolegnia sp. dengan Aphanomyces sp adalah Saprolegnia sp. memiliki hifa yang lebih
besar yakni 26-40 µm, ujung hifa membulat dengan sporulasi tanpa membentuk
kista di mulut sporangium (langsung menyebar). Ukuran sporangium Saprolegnia sp. adalah 395-497 µm, diameter
hifa 26.71- 41.28 µm, diameter spora 6,5-11,5 µm, diameter ooginium 7.28-21.86
µm, memiliki tipe sporulasi berupa spora yang memadati sporangium, dan keluar
melalui ujung sporangium (Protuberant tip).
Sporangium berbentuk mengembung, batas hifa dan sporangium terlihat jelas
(Nuryati et al 2008). Diameter cendawan
yang ditemukan berkisar antara 20-96 mm. Diameter cendawan pada kelompok 13
lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok lain. Hal tersebut menandakan
laju pertumbuhan cendawan pada kelompok 13 lebih cepat. Pada kelompok 10,
cendawan yang diisolasi tidak tumbuh dan pada kelompok 9 ditemukan kontaminasi
berupa bakteri yang tumbuh dalam media. Meskipun media telah diberi antibiotik,
bakteri kontaminan tetap dapat tubuh dan hal tersebut menandakan bahwa bakteri
yang tumbuh kemungkinan resisten terhadap antibiotik yang digunakan, yaitu
Chlorampenichol. Perbedaan diameter cendawan yang tumbuh kemungkinan disebabkan
oleh media kultur yang kurang subur dan suhu yang kurang optimum. Semua isolat
disimpan di dalam inkubator yang sama, namun posisi isolat di dalam inkubator
berbeda-beda, sehingga kemungkinan juga perbedaan letak penyimpanan yang
menyebabkan kondisi lingkungan berbeda.
Aphanomyces
sp. merupakan cendawan yang memiliki
miselium berdiameter 5-15 µm dan sedikit bercabang. Cendawan ini memiliki
zoospora yang muncul di ujung sporangium dengan bentuk yang memanjang, kemudian
menjadi kista (encyst) di sekitar
ujung sporangium. Zoospora terbentuk dari hifa vegetatif dengan diameter sama
dan tidak digunakan untuk reproduksi. Cendawan ini memiliki hifa yang
bercabang, tidak bersepta, dan berpigmen (Alderman 1982 dalam Mulyani 2006). Ciri-ciri Aphanomyces
sp. parasitik adalah menghasilkan kantung spora yang banyak (lebih dari
satu) dan keluar dari bagian tengah (samping) hifa, sedangkan Aphanomyces sp. saprofitik hanya
menghasilkan satu cluster spora yang dikeluarkan dari bagian terminal (ujung
hifa) (Roberts et al 1978 dalam Mulyani 2006).
Achlya sp.
merupakan cendawan yang mirip dengan Saprolegnia
sp.. Perbedaan Achlya sp. dengan Saprolegnia sp. adalah Achlya sp. memiliki sporangium yang
terletak di ujung hifa, memiliki tiga zoospora (polyplanetism), zoospora primer tidak memiliki flagel yang keluar
secara bergerombol yang sebelumnya mengumpul di mulut zoosporangia; siste
primer dibentuk pada mulut sporangium dan masih bergerombol; pembentukan
sporangium kedua terjadi dengan membentuk cabang di bawah sporangium pertama
yang telah kosong; zoospora sekunder dan tersier memiliki bentuk reniform dan memiliki dua flagel
sedangkan zoospora primer berbentuk pyriform
dan tidak berflagel; dan pada reproduksi seksual, zoospora yang dihasilkan
1-10 per oogonia (Sharma 1989 dalam Mulyani
2006).
Gambar
2. Zoospora pada 1) Saprolegnia sp.,
2) Achlya sp, dan 3) Aphanomyces sp.
(Sumber: Noga
2000 dalam Mulyani 2006)
Rhizophus
sp. yang digunakan sebagai bahan
perbandingan merupakan cendawan yang umum digunakan dalam pembuatan tempe.
Cendawan ini memiliki sporangium yang berukuran makroskopis sehingga bisa
dilihat tanpa menggunakan mikroskop. Sporangiumnya dapat dilihat dengan melihat
bintik atau titik yang berwarna hitam pada bagian tengah misella yang berwarna
putih. Cendawan ini juga memiliki kemampuan untuk menjadi patogen, yakni
menyebabkan penyakit zygomycosis, yang terjadi terutama pada penderita diabetes
ketoasidosis (penyakit rhinocerebral), malnutrisi, luka bakar parah, dan yang
memiliki system imun yang rendah (Anonim 2013). Ciri morfologi koloni Rhizophus sp. adalah memiliki hifa
seperti benang berwarna putih sampai kelabu hitam, pada bagian tertentu tampak
sporangium dan sporangiofora berupa titik-titik hitam seperti jarum pentul.
Ciri mikroskopisnya berupa hifa tanpa sekat, memiliki rizoid dan sporangiospora
(Susilowati dan Listyawati 2001). Pada pengamatan preparat Rhizophus sp. tidak ditemukan spora karena cendawan yang tumbuh
pada tempe yang digunakan masih muda sehingga sporanya belum tumbuh.
Media yang
digunakan berupa Glucose Yeast Agar
(GYA). GYA mengandung glukosa yang digunakan sebagai sumber energi. Selain
menggunakan GYA, kultur cendawan juga dapat dilakukan dengan menggunakan media
MEA (Malt Extract Agar). MEA
mengandung maltosa sebagai sumber energi, dekstrin yang merupakan polisakarida
diperoleh dari tepung yang berkualitas tinggi, dan gliserol yang termasuk
sumber karbon. Pepton digunakan sebagai sumber nitrogen (BD 2006).
Pada umumnya penyakit
mikotik susah untuk dicegah dan ditangani. Meskipun demikian, penggunaan bahan
kimia mungkin diperlukan ketika terjadi saprolegeniasis (Mayer 2005). Penanganan
pada penyakit yang disebabkan oleh cendawan dapat dilakukan dengan tiga cara,
yaitu perendaman dalam larutan kalium permanganat dengan dosis 0,1 ppt selama
60-90 menit atau dalam larutan garam dapur dengan dosis 10 ppt selama 1 menit.
Pengobatan dilakukan hingga 3 hari berturut-turut (Angin et al 2011). Malachite green
merupakan salah satu bahan kimia yang paling efektif untuk mengontrol
saprolegniasis (Bruno and Wood 1999 dalam
Mayer 2005). Namun, penggunaan Malachite
green dalam akuakultur telah banyak dilarang, diantaranya oleh Amerika
Serikat dan beberapa negara lainnya (Marking et al 1994 dalam Mayer
2005). Pemberian formalin 37% juga efektif dalam pengobatan saprolegniasis
(Mirchell and Collins 1997 dalam
Mayer 2005) dan merupakan satu-satunya bahan antifungi yang terdaftar dapat
digunakan dalam bidang akuakultur di Amerika (Bruno and Wood 1999 dalam Mayer 2005). Selain menggunakan
bahan kimia, kini infeksi cendawan juga telah dapat dicegah dengan menggunakan
fitormaka, yakni dengan menggunakan ekstrak paci-paci dengan dosis 0,5; 1,0 dan
1,5 g/L) (Nuryati et al 2008).
Menurut Bruno
and Wood (1999) dalam Mayer (2005), langkah
paling efektif dalam mencegah dan mengobati penyakit mikotik adalah kombinasi
manajemen (penanganan) ikan dan teknik budidaya yang baik dengan pengobatan
(treatmen) kimiawi, khususnya 2-4 hari setelah penanganan (handling) (Hatai dan Hoshiai 1994 dalam Mayer 2005). Hal ini sesuai dengan pendapat Irianto (2005)
yang menyatakan bahwa penyakit mikosis dapat diatasi dengan penerapan manajemen
yang baik seperti penjagaan kualitas air dan sirkulasi, mengurangi tingkat
kepadatan, dan pemberian nutrisi yang baik. Pengobatan saprolegniasis dapat
dilakukan dengan menggunakan kalium permangat, formalin dan larutan iodin pavidon,
sedangkan sedinfeksi eksternal dapat dilakukan dengan kupri sulfat, malachite green, garam, dan formalin.
Salah satu
teknik budidaya yang dapat dilakukan untuk menghindari infeksi cendawan adalah
menjaga suhu tetap stabil sehingga pertumbuhan cendawan dapat ditekan. Hatai
dan Hoshiai (1992) dalam Firooz et al (2011) menyatakan bahwa gejala
saprolegniasis ditemukan ketika suhu turun hingga 180C sehingga
disimpulkan bahwa pada suhu rendah, Saprolegnia
sp. akan menginfeksi kuat dan menjadi epidemik (Firooz et al 2011).
I.
KESIMPULAN DAN
SARAN
1.1
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil praktikum, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa
telah mengenal
bentuk-bentuk cendawan akuatik penyebab penyakit mikotik pada ikan
beserta cara reproduksinya. Perbedaan Saprolegnia
sp., Achlya sp., dan Aphanomyces sp. dapat dilihat pada letak
sporangium. Pada Saprolegnia sp.
sporangium baru terletak pada di dalam sporangium lama, pada Achlya sp. sporangium baru terletak di
ujung hifa (di luar sporangium lama) dan memiliki 3 zoospora, dan pada Aphanomyces sp, sporangium terletak pada
ujung hifa dan hanya memiliki 1 zoospora. Reproduksi Saprolegnia sp., Achlya sp.,
dan Aphanomyces sp. dilakukan secara
seksual dan aseksual. Praktikum ini juga telah menambah wawasan mahasiswa
tentang cara penanganan cendawan. Jenis-jenis cendawan dapat dilihat dari
bentuk dan tipe sporulasi, sekat pada hifa, percabangan hifa, dan jenis spora.
1.2
Saran
Pada praktikum berikutnya diharapkan jenis cendawan
yang diisolasi dan media yang digunakan lebih bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA
Angin, K.P., Sary, I.R., Sudrajat, M., dan Dardiani.
2011. Paket Diklat Manajemen Produksi dan Sumber Daya Manusia: Mata Diklat
Manajemen Produksi. Kementerian Pendidikan Nasional: Pusat Pengembangan dan
Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian.
Anonim. 2013. Rhizophus sp. –Enviromental Microbiology.Laboratory.
www.emlab.com
BD. 2006. Malt Extract Agar. Diakses pada 09 Oktober
2013. Tersedia pada www.bd.com.
Firooz, F., et
al.. 2011. Freshwater Fungi Isolated From Eggs and Broodstocks with an
Emphasis on Saprolegnia in Rainbow
Trout Farm in West Iran. African Journal of Microbiology Research Vol 4(22),
pp. 3647-3651.
Irianto, Agus. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Yogyakarta: Gadjah Mada University press.
Mulyani, S. 2006. Gambaran Darah Ikan Gurame Osphronemus gouramy yang Terinfeksi
Cendawan Achlya sp. pada Kepadatan
320 dan 720 Spora Per mL [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nuryati, S., Suparman, M.A., dan Hadiroseyani, Y..
2008. Penggunaan Ekstrak Daun Paci-Paci Leucas
sp. untuk Pencegahan Penyakit Mikotik pada Ikan Gurame Osphronemus gouramy Lac. Jurnal Akuakultur Indonesia, 7(2): 205-212
(2008).
Purwaningsih, Indah. 2013. Identifikasi Ektoparasit
Protozoa Pada Benih Ikan Mas (Cyprinus
carpio Linnaeus, 1758) di Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UKBAT) Cangkringan
Sleman DIY. Yogyakarta (ID): UIN Sunan Kalijaga.
Susilowati, A. dan Listyawati, S. 2001.
Keanekaragaman Jenis Mikroorganisme Sumber Kontaminasi Kultur In vitro di Sub-Lab. Biologi
Laboratorium MIPA Pusat UNS. Biodiversitas. Vol 2:(1), hal. 110-114. ISSN:
1412-033X.
LAMPIRAN