Kamis, 27 Februari 2014

STRUKTUR INTERAKSI KELOMPOK ELIT DALAM PEMBANGUNAN Penelitian di Tiga Desa Santri

DILARANG KERAS MELAKUKAN COPY PASTE... JANGAN RUGIKAN DIRI ANDA SENDIRI!!! POSTINGAN INI HANYA SALAH SATU JALAN UNTUK MEMPERMUDAH KALIAN MENCARI LITERATUR. UNTUK LEBIH LENGKAPNYA SILAHKAN LIHAT DAFTAR PUSTAKA N SEARCHING SENDIRI... SEMUA SUMBERNYA TERSEDIA DI GOOGLE... HEHEHEHEH,,, :)


Tugas Praktikum Ke-3                          Hari, Tanggal  : Senin, 24 Februari 2014

MK. Sosiologi Umum                          Ruang             : RK. CCR 2.05


STRUKTUR INTERAKSI KELOMPOK ELIT DALAM PEMBANGUNAN Penelitian di Tiga Desa Santri

Dibuat:
Dian Novita Sari                     C14134005

Asisten:
Putri Amalia                H34100066

STRUKTUR INTERAKSI KELOMPOK ELIT DALAM PEMBANGUNAN Penelitian di Tiga Desa Santri
Oleh : Sunyoto Usman
Ikhtisar Bacaan
Di pedesaan, jumlah anggota kelompok elit relatif sedikit dan terdiri dari masyarakat yang mempunyai jabatan formal dalam lingkup desa (pamong desa, pengurus lembaga, dan lain-lain dan informal leaders yang merupakan individu yang banyak didengarkan dan diikuti oleh masyarakat meskipun tidak memiliki jabatan. Dalam kegiatan yang berkaitan dengan implementasi pembangunan pedesaan, hampir semua anggota kelompok elit saling berinteraksi membentuk suatu jaringan sosiometris. Sebagian besar dari responden yang memiliki koneksi yang kuat adalah kelompok elit pamong desa, sebagian kecil petani kaya dan tidak ada yang berasal dari elit pemuka agama. Bahkan ada sejumlah elit pemuka agama yang terisolir atau kurang sama sekali tidak berinteraksi dengan elit lain. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa aktivitas implementasi proyek pembangunan pedesaaan, kelompok pamong desa yang lebih banyak menjalin interaksi.
Derajat integrasi memperlihatkan jumlah hubungan-hubungan tidak langsung (indirect links). Dari data yang diperoleh, diketahui bahwa 26% dari kelompok elit pamong desa dan 43% dari kelompok elit petani kaya yang memilliki nilai tinggi pada jalur koneksi sekaligus tinggi pula derajat integrasinya. Namun, tidak seorang dari elit pemuka agama yang termasuk katergori tersebut. Hal tersebut berarti bahwa aktivitas yang berikatan dengan implementasi proyek pembangunan pedesaaan, kelompok elit pemuka agama kurang menjalin interaksi dan kurang banyak menjalin hubungan-hubungan tidak langsung dengan kawan-kawan interaksinya jika dibandingkan dengan elit pamong desa dan petani kaya.

Dari segi jumlah klik yang dikaitkan dengan aktivitas implementasi proyek pembangunan desa, dari ketiga desa tersebut hampir tidak ada homophily  atau pengelompokan berdasarkan kategori elit. Dalam kategori peranan elit dalam jaringan, jumlah elit pamong desa dan petani kaya mempunyai peran yang lebih banyak dibandingkan elit pemuka agama. Dari seluruh ketegori diketahui bahwa kelompok elit pamong desa yang lebih berperan dalam integrasi sosial dan kelompok elit pemuka agama justru yang paling sedikit berperan dalam integrasi sosial.

Jumat, 14 Februari 2014

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI CENDAWAN PATOGEN



DILARANG KERAS MELAKUKAN COPY PASTE... JANGAN RUGIKAN DIRI ANDA SENDIRI!!! POSTINGAN INI HANYA SALAH SATU JALAN UNTUK MEMPERMUDAH KALIAN MENCARI LITERATUR. UNTUK LEBIH LENGKAPNYA SILAHKAN LIHAT DAFTAR PUSTAKA N SEARCHING SENDIRI... SEMUA SUMBERNYA TERSEDIA DI GOOGLE... HEHEHEHEH,,, :)

Laporan Praktikum ke-3                     Hari/Tanggal   : Kamis/ 10 Oktober 2013
m.k Penyakit Organisme Akuatik        Kelompok       : XIII
                                                          Asisten            : Dendi Hidayatullah, S.Pi






ISOLASI DAN IDENTIFIKASI CENDAWAN PATOGEN




Disusun oleh:
Dian Novita Sari
C14134005
















DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
I.    PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Ikan merupakan sumber protein hewani yang mengandung protein tinggi, harga ekonomis, dan mudah dicerna oleh tubuh (Purwaningsih 2013). Contoh ikan yang tergolong ekonomis dan komersial adalah ikan Lele (Clarias sp.). Ikan ini banyak dibudidayakan di seluruh Indonesia dan bisa dibudidayakan dalam berbagai bentuk wadah serta digemari masyarakat.
Salah satu faktor yang bisa mengganggu proses budidaya adalah penyakit, baik yang bersifat infeksius maupun yang noninfeksius. Penyakit infeksius disebabkan oleh parasit, bakteri, fungi/cendawan, dan virus, sedangkan yang non infeksius disebabkan oleh kualitas pakan yang kurang baik, kondisi lingkungan, dan genetik. Penyakit dapat timbul akibat hasil interaksi yang tidak seimbang antara ikan, kondisi lingkungan, dan organisme atau agen penyebab penyakit (Afrianto dan Liviawaty 1992 dalam Purwaningsih 2013).
Salah satu penyebab penyakit infeksius adalah cendawan. Cendawan merupakan kelompok organisme yang bersifat saprofit. Cendawan menjadi masalah saat ikan mengalami stress akibat kondisi lingkungan yang buruk, nutrisi yang buruk, dan kondisi ikan yang kurang baik akibat luka. Infeksi cendawan dalam akuakultur juga dapat menyerang telur sehingga derajat penetasan telur menjadi rendah (Irianto 2005).
Isolasi dan identifikasi cendawan perlu dilakukan agar bentuk-bentuk cendawan akuatik khususnya penyebab penyakit mikotik pada ikan dapat diketahui. Selain itu, pengetahuan mengenai hubungan antara cendawan dengan inangnya juga perlu diketahui untuk penentuan tindakan pencegahan dan penanganan (pengobatan). 

1.2        Tujuan
Tujuan dari praktikum kali ini adalah agar mahasiswa mengetahui bentuk-bentuk cendawan akuatik penyebab penyakit mikotik pada ikan beserta cara reproduksi, serta mengetahui cara penanganan cendawan dari tahap isolasi, pewarnaan, sampai tahapan kultur untuk memudahkan dilakukannya identifikasi.
II.     METODOLOGI

2.1    Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Kamis, 03 Oktober 2013, pukul 15.00-18.00 WIB. Praktikum ini dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor..

2.2    Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah tusuk gigi, kamera, tisu, cover glass, object glass, mikroskop, cawan petri, bunsen, sprayer, inkubator, korek api, dan alat tulis. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah telur yang telah jamuran, alcohol 70%, Chloramphenicol, Glucose Yeast Agar (GYA), Methylen Blue, tempe, dan akuades.

2.3    Prosedur
2.3.1        Cara Isolasi Cendawan
Semua alat dan bahan disiapkan. Setelah itu dilakukan kultur cendawan dengan teknik aseptik. Sebelum kultur, terlebih dahulu meja kerja dan tangan operator disterilisasi dengan alkohol 70%. Setelah itu, bunsen dinyalakan dan sampel cendawan diambil dengan menggunakan pinset atau tusuk gigi, lalu dikeringkan dengan tisu. Selanjutnya, tepian cawan petri yang telah berisi GYA dan Chloramphenicol dipanaskan dan dibuka perlahan di dekat bunsen. Kemudian sampel cendawan diletakkan di tengah-tengah media. Setelah itu, cawan ditutup dan dieratkan dengan menggunakan wrap, lalu dimasukkan ke dalam inkubator dan dibiarkan selama ±3 hari (72 jam). Cendawan yang ditumbuh diamati dan diameternya diukur serta didokumentasikan.

2.3.2        Identifikasi Cendawan pada Telur Ikan Lele (Clarias sp.)
Semua alat dan bahan disiapkan. Kemudian telur yang telah jamuran dan jamur pada tempe diambil dan masing-masing diletakkan di atas kaca objek yang berbeda. Cendawan dari tempe (Rhizophus sp.) digunakan sebagai bahan perbandingan. Selanjutnya, preparat diberi akuades atau air sebanyak 1-2 tetes dan ditutup dengan kaca penutup. Lalu, preparat diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 40x. Setelah itu, cendawan diidentifikasi berdasarkan letak sporanya. Selanjutnya, cendawan didokumentasikan dan digambar.


I.        HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1  Hasil
Cendawan diisolasi dari telur ikan Lele (Clarias sp.) yang gagal menetas.  Hasil isolasi cendawan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Isolasi Cendawan pada TelurIkan Lele (Clarias sp.)
Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa diameter cendawan terpanjang ditemukan pada kelompok 13. Hal tersebut menandakan bahwa laju pertumbuhan cendawan pada kelompok 13 lebih cepat jika dibandingkan dengan kelompok lain. Pada kelompok 10, cendawan yang diisolasi tidak tumbuh. Pada kelompok 9 ditemukan kontaminasi berupa bakteri yang tumbuh dalam media. Meskipun media telah diberi antibiotik, bakteri kontaminan tetap dapat tubuh dan hal tersebut menandakan bahwa bakteri yang tumbuh kemungkinan resisten terhadap antibiotik yang digunakan, yaitu Chlorampenichol.

3.1  Pembahasan
Cendawan atau yang biasa juga dikenal dengan fungi merupakan organisme berfilamen, non-fotosintetik, dan merupakan organisme eukaryotik heterotrofik. Secara umum, thallus cendawan terdiri dari 2 bagian yaitu miselium dan spora. Miselium tersusun oleh jalinan hifa yang merupakan satuan seluler cendawan. Hifa merupakan bentukan seperti benang tubular tunggal dengan dinding sel yang mengandung khitin mikrofibril semikristalin yang terpadu dengan matriks amorf β–glukan, dan beberapa protein mungkin ikut menyusun dinding selnya (Irianto 2005).
Cendawan akuatik umumnya berasal dari cendawan kelas Oomycetes, antara lain: Saprolegnia sp., Allomyces sp., Macrogynus sp., Rhizidiomyces arbuscula, Phytophthora infestans, dan Plasmodiophora brassica. Cendawan tersebut menghasilkan spora yang muda disebarkan dalam lingkungan akuatik. Spora yang dihasilkan umumnya tahan terhadap pengaruh lingkungan yang kurang menguntungkan seperti kekeringan, panas, senyawa desinfektan, dan sistem pertahanan tubuh pada ikan. Tiga penyakit mikosis (penyakit yang disebabkan oleh cendawan) yang umum menyerang ikan adalah saprolegniasis, brachiomycosis, dan Ichthyphonus (Irianto 2005). Studi tentang penyakit mikotik pada ikan air tawar di Asia Tenggara sejak 1999 hingga 2004 menunjukkan 160 cendawan yang diisolasi berasal dari 4 genera, yaitu Saprolegnia, Achlya, Leptolegnia, dan Aphanomyces (Chukanhom 2005 dalam Firooz et al 2011).
Penyakit saprolegniasis disebabkan oleh Saprolegnia sp., Achlya sp., dan Aphanomyces sp.. Agen saprolegniasis merupakan jasad oportunis karena infeksinya difasilitasi oleh adanya luka atau borok atau sering dikenal sebagai agen penginfeksi sekunder. Saprolegnia sp., Achlya sp., dan Aphanomyces sp. merupakan cendawan dengan hifa tanpa septat yang bercabang dan merupakan flora normal perairan yang menyerang jaringan epidermis yang mengalami gangguan atau kerusakan akibat penanganan yang kurang baik. Ketiga cendawan ini menghasilkan zoospora yang bergerak dengan flagella yang dihasilkan pada sporangia di ujung hifa (Irianto 2005). 
Saprolegniasis menyerang ikan dan telur ikan terutama pada ikan air tawar maupun payau, bahkan pada ikan air laut (Irianto 2005). Pada dasarnya, salinitas lebih dari 2,8‰ telah menghambat penyebaran agen penyebab penyakit saprolegniasis (Robert 1989 dalam Irianto 2005). Secara klinis, saprolegniasis diketahui dengan adanya miselium berwarna putih, abu-abu gelap hingga kecokelatan pada kulit, insang, sirip, atau telur sehingga telur menjadi gagal menetas. Infeksi lanjut dapat menyebabkan luka nekrotik pada jaringan otot tubuh ikan. Kematian yang ditimbulkan saprolegniasis umumnya akibat osmosis atau respirasi karena infeksi pada insang atau kulit yang cukup luas atau berat (Irianto 2005). Pada telur, Saprolegnia sp. dapat menyebabkan kematian dengan cara Saprolegnia sp. tumbuh dan masuk ke dalam dinding sel sehingga mengurangi proses aliran air dan sekresi enzim dalam sel telur (Firooz et al 2011).
Saprolegnia sp. memiliki siklus hidup yang kompleks, yaitu secara seksual dan aseksual. Reproduksi seksual dilakukan dengan menghasilkan antheridium dan ooginium gametangia dalam proses fertilisasi (Pickering and Willoughby 1982 dalam Mayer 2005). Reproduksi aseksual dilakukan dengan menghasilkan zoospora primer. Zoospora primer hanya aktif dalam waktu yang singkat sebelum membentuk encyst lalu membelah dan menghasilkan zoospora sekunder (Willoughby 1994 dalam Mayer 2005). Zoospora sekunder hidup dan bergerak lebih lama dan diduga sebagai fase dispersi utama pada Saprolegnia (Beakes et al 1994 dalam Mayer 2005). Siklus hidup Saprolegnia sp. dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Siklus Hidup Saprolegnia sp.
Sumber : Mayer 2005
Secara histologis, infeksi Saprolegnia sp. dapat diketahui dengan adanya peradangan pada granuloma yang meluas (7-14µm) dan dipenuhi hifa yang tidak berseptat. Saprolegnia sp. dapat tumbuh pada suhu 0-350C dengan suhu optimum 15-300C. Cendawan ini akan menginfeksi saat terdapat luka pada tubuh ikan dan menyebar ke jaringan-jaringan yang masih sehat. Tingkat infeksius cendawan ini dapat dipengaruhi oleh suhu, DO (Dissolved oxygen) yang rendah, NH3 yang tinggi, dan kandungan bahan organik yang tinggi, serta penanganan yang kurang baik (Irianto 2005). Penyebaran Saprolegnia sp. pada telur yang terinfeksi terjadi melalui perpindahan spora dari telur mati ke telur hidup melalui mekanisme kemotaksis positif (Bruno and Wood 1999 dalam Mayer 2005).
Perbedaan antara Saprolegnia sp. dengan Aphanomyces sp adalah Saprolegnia sp. memiliki hifa yang lebih besar yakni 26-40 µm, ujung hifa membulat dengan sporulasi tanpa membentuk kista di mulut sporangium (langsung menyebar). Ukuran sporangium Saprolegnia sp. adalah 395-497 µm, diameter hifa 26.71- 41.28 µm, diameter spora 6,5-11,5 µm, diameter ooginium 7.28-21.86 µm, memiliki tipe sporulasi berupa spora yang memadati sporangium, dan keluar melalui ujung sporangium (Protuberant tip). Sporangium berbentuk mengembung, batas hifa dan sporangium terlihat jelas (Nuryati et al 2008). Diameter cendawan yang ditemukan berkisar antara 20-96 mm. Diameter cendawan pada kelompok 13 lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok lain. Hal tersebut menandakan laju pertumbuhan cendawan pada kelompok 13 lebih cepat. Pada kelompok 10, cendawan yang diisolasi tidak tumbuh dan pada kelompok 9 ditemukan kontaminasi berupa bakteri yang tumbuh dalam media. Meskipun media telah diberi antibiotik, bakteri kontaminan tetap dapat tubuh dan hal tersebut menandakan bahwa bakteri yang tumbuh kemungkinan resisten terhadap antibiotik yang digunakan, yaitu Chlorampenichol. Perbedaan diameter cendawan yang tumbuh kemungkinan disebabkan oleh media kultur yang kurang subur dan suhu yang kurang optimum. Semua isolat disimpan di dalam inkubator yang sama, namun posisi isolat di dalam inkubator berbeda-beda, sehingga kemungkinan juga perbedaan letak penyimpanan yang menyebabkan kondisi lingkungan berbeda.
Aphanomyces sp. merupakan cendawan yang memiliki miselium berdiameter 5-15 µm dan sedikit bercabang. Cendawan ini memiliki zoospora yang muncul di ujung sporangium dengan bentuk yang memanjang, kemudian menjadi kista (encyst) di sekitar ujung sporangium. Zoospora terbentuk dari hifa vegetatif dengan diameter sama dan tidak digunakan untuk reproduksi. Cendawan ini memiliki hifa yang bercabang, tidak bersepta, dan berpigmen (Alderman 1982 dalam Mulyani 2006). Ciri-ciri Aphanomyces sp. parasitik adalah menghasilkan kantung spora yang banyak (lebih dari satu) dan keluar dari bagian tengah (samping) hifa, sedangkan Aphanomyces sp. saprofitik hanya menghasilkan satu cluster spora yang dikeluarkan dari bagian terminal (ujung hifa) (Roberts et al 1978 dalam Mulyani 2006).
Achlya sp. merupakan cendawan yang mirip dengan Saprolegnia sp.. Perbedaan Achlya sp. dengan Saprolegnia sp. adalah Achlya sp. memiliki sporangium yang terletak di ujung hifa, memiliki tiga zoospora (polyplanetism), zoospora primer tidak memiliki flagel yang keluar secara bergerombol yang sebelumnya mengumpul di mulut zoosporangia; siste primer dibentuk pada mulut sporangium dan masih bergerombol; pembentukan sporangium kedua terjadi dengan membentuk cabang di bawah sporangium pertama yang telah kosong; zoospora sekunder dan tersier memiliki bentuk reniform dan memiliki dua flagel sedangkan zoospora primer berbentuk pyriform dan tidak berflagel; dan pada reproduksi seksual, zoospora yang dihasilkan 1-10 per oogonia (Sharma 1989 dalam Mulyani 2006).
Gambar 2. Zoospora pada 1) Saprolegnia sp., 2) Achlya sp, dan 3) Aphanomyces sp.
(Sumber: Noga 2000 dalam Mulyani 2006)

Rhizophus sp. yang digunakan sebagai bahan perbandingan merupakan cendawan yang umum digunakan dalam pembuatan tempe. Cendawan ini memiliki sporangium yang berukuran makroskopis sehingga bisa dilihat tanpa menggunakan mikroskop. Sporangiumnya dapat dilihat dengan melihat bintik atau titik yang berwarna hitam pada bagian tengah misella yang berwarna putih. Cendawan ini juga memiliki kemampuan untuk menjadi patogen, yakni menyebabkan penyakit zygomycosis, yang terjadi terutama pada penderita diabetes ketoasidosis (penyakit rhinocerebral), malnutrisi, luka bakar parah, dan yang memiliki system imun yang rendah (Anonim 2013). Ciri morfologi koloni Rhizophus sp. adalah memiliki hifa seperti benang berwarna putih sampai kelabu hitam, pada bagian tertentu tampak sporangium dan sporangiofora berupa titik-titik hitam seperti jarum pentul. Ciri mikroskopisnya berupa hifa tanpa sekat, memiliki rizoid dan sporangiospora (Susilowati dan Listyawati 2001). Pada pengamatan preparat Rhizophus sp. tidak ditemukan spora karena cendawan yang tumbuh pada tempe yang digunakan masih muda sehingga sporanya belum tumbuh.
Media yang digunakan berupa Glucose Yeast Agar (GYA). GYA mengandung glukosa yang digunakan sebagai sumber energi. Selain menggunakan GYA, kultur cendawan juga dapat dilakukan dengan menggunakan media MEA (Malt Extract Agar). MEA mengandung maltosa sebagai sumber energi, dekstrin yang merupakan polisakarida diperoleh dari tepung yang berkualitas tinggi, dan gliserol yang termasuk sumber karbon. Pepton digunakan sebagai sumber nitrogen (BD 2006).
Pada umumnya penyakit mikotik susah untuk dicegah dan ditangani. Meskipun demikian, penggunaan bahan kimia mungkin diperlukan ketika terjadi saprolegeniasis (Mayer 2005). Penanganan pada penyakit yang disebabkan oleh cendawan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu perendaman dalam larutan kalium permanganat dengan dosis 0,1 ppt selama 60-90 menit atau dalam larutan garam dapur dengan dosis 10 ppt selama 1 menit. Pengobatan dilakukan hingga 3 hari berturut-turut (Angin et al 2011). Malachite green merupakan salah satu bahan kimia yang paling efektif untuk mengontrol saprolegniasis (Bruno and Wood 1999 dalam Mayer 2005). Namun, penggunaan Malachite green dalam akuakultur telah banyak dilarang, diantaranya oleh Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya (Marking et al 1994 dalam Mayer 2005). Pemberian formalin 37% juga efektif dalam pengobatan saprolegniasis (Mirchell and Collins 1997 dalam Mayer 2005) dan merupakan satu-satunya bahan antifungi yang terdaftar dapat digunakan dalam bidang akuakultur di Amerika (Bruno and Wood 1999 dalam Mayer 2005). Selain menggunakan bahan kimia, kini infeksi cendawan juga telah dapat dicegah dengan menggunakan fitormaka, yakni dengan menggunakan ekstrak paci-paci dengan dosis 0,5; 1,0 dan 1,5 g/L) (Nuryati et al 2008).
Menurut Bruno and Wood (1999) dalam Mayer (2005), langkah paling efektif dalam mencegah dan mengobati penyakit mikotik adalah kombinasi manajemen (penanganan) ikan dan teknik budidaya yang baik dengan pengobatan (treatmen) kimiawi, khususnya 2-4 hari setelah penanganan (handling) (Hatai dan Hoshiai 1994 dalam Mayer 2005). Hal ini sesuai dengan pendapat Irianto (2005) yang menyatakan bahwa penyakit mikosis dapat diatasi dengan penerapan manajemen yang baik seperti penjagaan kualitas air dan sirkulasi, mengurangi tingkat kepadatan, dan pemberian nutrisi yang baik. Pengobatan saprolegniasis dapat dilakukan dengan menggunakan kalium permangat, formalin dan larutan iodin pavidon, sedangkan sedinfeksi eksternal dapat dilakukan dengan kupri sulfat, malachite green, garam, dan formalin.
Salah satu teknik budidaya yang dapat dilakukan untuk menghindari infeksi cendawan adalah menjaga suhu tetap stabil sehingga pertumbuhan cendawan dapat ditekan. Hatai dan Hoshiai (1992) dalam Firooz et al (2011) menyatakan bahwa gejala saprolegniasis ditemukan ketika suhu turun hingga 180C sehingga disimpulkan bahwa pada suhu rendah, Saprolegnia sp. akan menginfeksi kuat dan menjadi epidemik (Firooz et al 2011).



I.        KESIMPULAN DAN SARAN

1.1    Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa telah mengenal bentuk-bentuk cendawan  akuatik penyebab penyakit mikotik pada ikan beserta cara reproduksinya. Perbedaan Saprolegnia sp., Achlya sp., dan Aphanomyces sp. dapat dilihat pada letak sporangium. Pada Saprolegnia sp. sporangium baru terletak pada di dalam sporangium lama, pada Achlya sp. sporangium baru terletak di ujung hifa (di luar sporangium lama) dan memiliki 3 zoospora, dan pada Aphanomyces sp, sporangium terletak pada ujung hifa dan hanya memiliki 1 zoospora. Reproduksi Saprolegnia sp., Achlya sp., dan Aphanomyces sp. dilakukan secara seksual dan aseksual. Praktikum ini juga telah menambah wawasan mahasiswa tentang cara penanganan cendawan. Jenis-jenis cendawan dapat dilihat dari bentuk dan tipe sporulasi, sekat pada hifa, percabangan hifa, dan jenis spora.

1.2    Saran
Pada praktikum berikutnya diharapkan jenis cendawan yang diisolasi dan media yang digunakan lebih bervariasi.



DAFTAR PUSTAKA
Angin, K.P., Sary, I.R., Sudrajat, M., dan Dardiani. 2011. Paket Diklat Manajemen Produksi dan Sumber Daya Manusia: Mata Diklat Manajemen Produksi. Kementerian Pendidikan Nasional: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pertanian.
Anonim. 2013. Rhizophus sp. –Enviromental Microbiology.Laboratory. www.emlab.com
BD. 2006. Malt Extract Agar. Diakses pada 09 Oktober 2013. Tersedia pada www.bd.com
Firooz, F., et al.. 2011. Freshwater Fungi Isolated From Eggs and Broodstocks with an Emphasis on Saprolegnia in Rainbow Trout Farm in West Iran. African Journal of Microbiology Research Vol 4(22), pp. 3647-3651.
Irianto, Agus. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Yogyakarta: Gadjah Mada University press.
Mayer, Kent. 2005. Saprolegnia: There’s a Fungus Among Us. Oregon: OSU Department of Fisheries and Wildlife. Tersedia pada http://hmsc.oregonstate.edu/classes/MB492/saprokent/saprolegnia.htm. Diakses pada 05 Oktober 2013.
Mulyani, S. 2006. Gambaran Darah Ikan Gurame Osphronemus gouramy yang Terinfeksi Cendawan Achlya sp. pada Kepadatan 320 dan 720 Spora Per mL [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nuryati, S., Suparman, M.A., dan Hadiroseyani, Y.. 2008. Penggunaan Ekstrak Daun Paci-Paci Leucas sp. untuk Pencegahan Penyakit Mikotik pada Ikan Gurame Osphronemus gouramy Lac. Jurnal Akuakultur Indonesia, 7(2): 205-212 (2008).
Purwaningsih, Indah. 2013. Identifikasi Ektoparasit Protozoa Pada Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linnaeus, 1758) di Unit Kerja Budidaya Air Tawar (UKBAT) Cangkringan Sleman DIY. Yogyakarta (ID): UIN Sunan Kalijaga.
Susilowati, A. dan Listyawati, S. 2001. Keanekaragaman Jenis Mikroorganisme Sumber Kontaminasi Kultur In vitro di Sub-Lab. Biologi Laboratorium MIPA Pusat UNS. Biodiversitas. Vol 2:(1), hal. 110-114. ISSN: 1412-033X. 

LAMPIRAN





















ISOLASI PARASIT PADA IKAN MAS (Cyprinus carpio) DAN IKAN LELE (Clarias sp.)

DILARANG KERAS MELAKUKAN COPY PASTE... JANGAN RUGIKAN DIRI ANDA SENDIRI!!! POSTINGAN INI HANYA SALAH SATU JALAN UNTUK MEMPERMUDAH KALIAN MENCARI LITERATUR. UNTUK LEBIH LENGKAPNYA SILAHKAN LIHAT DAFTAR PUSTAKA N SEARCHING SENDIRI... SEMUA SUMBERNYA TERSEDIA DI GOOGLE... HEHEHEHEH,,, :)


Laporan Praktikum ke-2                     Hari/Tanggal   : Kamis/ 03 Oktober 2013
m.k Penyakit Organisme Akuatik        Kelompok       : XIII
                                                          Dosen             : Rahman, S.Pi, M.Si






ISOLASI PARASIT PADA IKAN MAS (Cyprinus carpio) DAN IKAN LELE (Clarias sp.)




Disusun oleh:
Dian Novita Sari
C14134005






















 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

I.    PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Ikan merupakan sumber protein hewani yang mengandung protein tinggi, ekonomis, dan mudah dicerna oleh tubuh (Purwaningsih 2013). Contoh ikan yang tergolong ekonomis dan komersial adalah ikan Mas (Cyprinus carpio) dan ikan Lele (Clarias sp.). Ikan ini banyak dibudidayakan di seluruh Indonesia dan bisa dibudidayakan dalam berbagai bentuk wadah serta digemari masyarakat.
Salah satu faktor yang bisa mengganggu proses budidaya adalah penyakit, baik yang bersifat infeksius maupun yang noninfeksius. Penyakit infeksius disebabkan oleh parasit, bakteri, fungi/cendawan, dan virus, sedangkan yang non infeksius disebabkan oleh kualitas pakan yang kurang baik, kondisi lingkungan, dan genetik. Penyakit dapat timbul akibat hasil interaksi yang tidak seimbang antara ikan, kondisi lingkungan, dan organisme atau agen penyebab penyakit (Afrianto dan Liviawaty 1992 dalam Purwaningsih 2013).
Salah satu penyebab penyakit infeksius adalah parasit. Berdasarkan tempat hidupnya, parasit dibedakan menjadi dua, yaitu endoparasit dan ektoparasit. Endoparasit merupakan parasit yang hidup di dalam jaringan atau tubuh inangnya, sedangkan ektoparasit merupakan parasit yang hidup di permukaan tubuh inangnya atau menempel sementara pada permukaan tubuh inangnya (Aryulina et al 2008). Umumnya parasit yang menyerang ikan adalah parasit dari golongan Crustacea, cacing (Nematoda, Trematoda, dan Cestoda), dan protozoa. Ektoparasit menginfeksi sirip, sisik, operkulum, dan insang ikan (Purwaningsih 2013).
Isolasi parasit pada ikan budidaya perlu dilakukan untuk mengetahui jenis parasit yang menginfeksi dan mengetahui hubungan antara parasit dengan inangnya. Dengan mengetahui jenis parasit dan hubungannya dengan inang, maka tindakan pencegahan dan penanganan (pengobatan) dapat ditentukan. 

1.2        Tujuan
Tujuan dari praktikum kali ini adalah agar mahasiswa mengenal bentuk- bentuk parasit baik ektoparasit maupun endoparasit dari spesimen segar atau hidup yang terdapat pada beberapa jenis ikan.
II.     METODOLOGI

2.1    Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Kamis, 26 September 2013 bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Praktikum ini dilaksanakan pada pukul 15.00-18.00 WIB.

2.2    Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah 2 set alat bedah, talenan, kamera, tisu, cover glass, object glass, mikroskop, cawan petri, dan alat tulis. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah ikan Mas sebanyak 7 ekor, ikan Lele sebanyak 7 ekor, dan akuades.

2.3    Prosedur
2.3.1        Pemeriksaan Ektoparasit
Semua alat dan bahan disiapkan. Kemudian ikan diambil sebanyak 1 ekor untuk ikan Mas dan 1 ekor ikan Lele. Selanjutnya, lendir dan insang ikan Mas dan ikan Lele diambil dan diletakkan di object glass yang berbeda. Lendir pada ikan Mas diambil dengan cara menggoreskan pisau pada permukaan tubuh ikan dari arah depan (kepala) ke belakang (ekor) sehingga tidak merusak sisiknya, sedangkan pada ikan Lele, lendir bisa diambil dari bagian depan maupun belakang karena ikan Lele tidak memiliki sisik. Jika ukuran sampelnya terlalu besar maka organ dicacah terlebih dahulu. Setelah itu, diberi 1 tetes akuades (secukupnya) dan ditutup dengan cover glass. Lalu, preparat diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 25x. Parasit yang ditemukan diidentifikasi, dihitung dan dicatat jumlahnya.

2.3.2        Pemeriksaan Endoparasit
Semua alat dan bahan disiapkan. Kemudian 1 ekor untuk ikan Mas dan 1 ekor ikan Lele yang telah diamati ektoparasitnya dibedah. Sebelum dibedah, ikan dipingsankan terlebih dahulu dengan menusuk medula oblongata ikan yang terletak di bagian kepala. Lalu usus ikan Mas dan ikan Lele diambil dengan menggunakan pinset dan diletakkan di object glass yang berbeda. Jika ukuran sampelnya terlalu besar maka ususnya dicacah terlebih dahulu. Setelah itu, diberi 1 tetes akuades (secukupnya) dan ditutup dengan cover glass. Lalu, preparat diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 25x. Parasit yang ditemukan diidentifikasi, dihitung dan dicatat jumlahnya.

Rumus perhitungan:
Prevalensi =   jumlah ikan yang terinfeksi parasit/ jumlah ikan yang diamati x 100%
Intensitas  =   jumlah parasit / jumlah ikan yang terinfeksi                 
   
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1    Hasil
Parasit yang ditemukan pada ikan Lele (Clarias sp.) berupa endoparasit dan ektoparasit. Endoparasit diisolasi pada bagian usus, sedangkan ektoparasit diisolasi pada bagian lendir dan insang ikan. Hasil isolasi dan identifikasi endoparasit dan ektoparasit pada ikan Lele dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Isolasi Parasit pada Ikan Lele (Clarias sp.)
Kelompok
Organ
Jenis Parasit
Jumlah
1
Lendir
Oodinium sp.
1
Insang
Monogenea
15
Usus
Platyhelminthes
1
2
Lendir
Trichodina sp.
1
Insang
Monogenea
15
Usus
Platyhelminthes
1
3
Lendir
Platyhelminthes
3
Insang
-
-
Usus
-
-
4
Lendir
Monogenea
1
Insang
-
-
Usus
Monogenea
1
5
Lendir
Ichtyophthirius multifilis
2
Insang
Monogenea
7
Usus
Platyhelminthes
4
6
Lendir
Ichtyophthirius multifilis
11
Trichodina sp.
2
Insang
-

Usus
-

13
Lendir
Trichodina sp.
10
Insang
Dactylogyrus sp. (Monogenea)
3
Usus
-
-
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa jenis parasit yang banyak ditemukan pada ikan Lele adalah Trichodina sp., Ichthyophthirius multifiliis, Platyhelminthes (termasuk Monogenea), dan Oodinium sp.. Jenis parasit yang paling banyak ditemukan pada ikan lele adalah parasit dari ordo Monogenea yaitu sebanyak 42 individu dari 7 ekor yang diamati, sedangkan yang paling sedikit ditemukan adalah Oodinium sp. yaitu sebanyak 1 individu dari 7 ekor yang diamati.
Parasit yang ditemukan pada ikan Mas (Cyprinus carpio) berupa endoparasit dan ektoparasit. Proses isolasi dan identifikasi parasit pada ikan Mas kurang lebih sama dengan proses isolasi dan identifikasi pada ikan Lele, begitupun dengan organ yang diamati. Hasil isolasi dan identifikasi endoparasit dan ektoparasit pada ikan Mas dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Isolasi Parasit pada Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Kelompok
Organ
Jenis Parasit
Jumlah
1
Lendir
Monogenea
1
Insang
Monogenea
2
Usus
Monogenea
1
2
Lendir
Trichodina sp.
1
Insang
Monogenea
8
Usus
Platyhelminthes
1
3
Lendir
Trichodina sp.
5
Insang
Monogenea
9
Usus
Platyhelminthes
34
4
Lendir
Monogenea
1
Insang
-
-
Usus
-
-
5
Lendir
Monogenea
2
Insang
Monogenea
1
Usus
Platyhelminthes
2
6
Lendir
Ichtyophthirius multifilis
Trichodina sp.
1
4
Insang
Monogenea
1
Usus
Platyhelminthes
1
13
Lendir
Trichodina sp.
9
Insang
Dactylogyrus sp. (Monogenea)
Ichtyophthirius multifilis
3
1
Usus
-
-
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa jenis parasit yang banyak ditemukan pada ikan Mas adalah Trichodina sp., Ichthyophthirius multifiliis, dan Platyhelminthes (termasuk Monogenea). Jenis parasit yang dominan menginfeksi pada ikan Mas yang diamati adalah parasit dari filum Platyhelminthes, yakni sebanyak 34 individu dari 7 ekor yang diamati, sedangkan parasit yang paling sedikit ditemukan adalah I. multifiliis  yaitu hanya 2 individu dari 7 ekor yang diamati.

3.2    Pembahasan
Berdasarkan tempat hidupnya, parasit dibedakan menjadi dua, yaitu endoparasit dan ektoparasit. Endoparasit merupakan organisme yang hidup di dalam jaringan atau tubuh inangnya. Ektoparasit merupakan parasit yang hidup di permukaan tubuh inangnya atau menempel sementara pada permukaan tubuh inangnya (Aryulina et al 2008).
Reaksi yang timbul akibat infeksi parasit adalah mengganggu sistem metabolisme, merusak organ, dan menghambat pertumbuhan ikan (Hadiroseyani et al. 2006). Secara spesifik, parasit menyebabkan berbagai perubahan, baik pada organ, jaringan tubuh maupun tingkah laku inang. Tubuh ikan yang terinfeksi parasit akan mengalami hypertrofi pada jaringan di sekitar infeksi, pembengkakan dan terbentuknya zat pertahanan tubuh yang ditandai dengan nekrosis (Purwaningsih 2013).
Tindakan penanganan yang dilakukan untuk mengobati infeksi endoparasit dan ektoparasit dilakukan dengan cara yang berbeda. Ektoparasit dapat ditangani dengan metode perendaman, sedangkan pada endoparasit bisa menggunakan metode perendaman namun lebih efektif jika dilakukan dengan metode oral (Irianto 2005). Sebagai contoh, I. multifilis dapat diatasi dengan memotong siklus hidupnya, yaitu dengan karantina ikan yang terinfeksi selama 3 hari pada suhu sekitar 25-270C. Karantina selama 3 hari dapat memotong siklus hidup I. multifilis karena tomitnya hanya hidup selama 48 jam pada suhu sekitar 25-270C. Selain itu, penanganan pada infeksi yang berat (intensitas tinggi) dilakukan dengan penggunaan bahan kimia dan larutan garam (NaCl) 3%. Bahan kimia yang digunakan berupa Malachite Green (0,05-0,10 ppm), Methylene Blue, formalin (250 ppm selama 30-60 menit), kuprisulfat (0,75 ppm) (FAO 2008), maupun dengan kalium permanganat (2 ppm selama 8-10 jam) (Irianto 2005). Menurut Gusrina (2008), parasit dari filum protozoa dapat ditangani dengan menggunakan formali dosis 100 ppm dengan metode pengolesan, NaCl dosis 25% dan KMnO4 dosis 100 ppm dengan metode perendaman dalam bak), Rivanol dosis 100 ppm dan formalin dosis 20 ppm dengan metode perendaman dalam kolam, sedangkan dari filum Cruscea, Platyhelminthes, dan jamur ringkat rendah dapat ditangani dengan menggunakan formalin 0,1% dan Rivanol 100 ppm dengan metode pengolesan, NaCl 20%, KMnO4 dosis 0,01 ppm, NH4OH dosis 0,25 ppm, formalin dosis 50 ppm, dan NH4Cl dosis 1-1,5% selama 15 menit dengan metode perendaman dalam bak, serta dengan menggunakan Malachite Green dosis 0,15 ppm dan ekstrak biji teh dosis 200 kg/ha metode perendaman dalam kolam.
Jenis-jenis parasit yang sering menginfeksi ikan Lele adalah Vorticella sp., Cryptobia sp., Trichodina sp, Ichthyophthirius multifiliis, Dactylogyrus, Lytocestus parvulus, dan Branchionus (Hadiroseyani et al 2006). Jenis parasit yang sering menyerang ikan Mas adalah Trichodina sp, Ichthyophthirius multifiliis, Epystilis sp, Myxobolus sp. dan Oodinium sp. (Purwaningsih 2013). Jenis parasit dan tingkat infeksi parasit dipengaruhi oleh berbagai hal, mulai dari faktor lingkungan hingga sistem imun. Menurut Nobel (1989) dan Hadiroseyani et al (2006), distribusi parasit pada organ penempelnya dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, sifat kimia media sekelilingnya, dan persediaan makanan pada tubuh inang. Selain itu, perbedaan dalam sistem budidaya pada masing-masing daerah dan vektor berupa pakan alami yang menjadi perantara bagi parasit juga mempengaruhi jenis parasit yang menginfeksi. Pada praktikum ini jenis parasit yang ditemukan pada ikan Lele dan ikan Mas, umumnya sama, yaitu Trichodina sp., Platyhelminthes (termasuk Monogenea dan Dactylogyrus sp.), dan I. multifiliis. Namun, pada ikan Lele juga ditemukan ektoparasit berupa Oodinium sp,.
Trichodina sp. merupakan ektokomensal yaitu menggunakan inang sebagai daerah untuk mencari makanannya (partikel air, bakteri, dan detritus) (Vini Awilia 2002 dalam Hadiroseyani et al 2006). Trichodina sp. memiliki diameter selebar 50 µm, memiliki bulu getar terangkkai pada kedua sisi sel, dan memiliki makro dan mikronukleus (Irianto 2005). Infeksi Trichodina sp. dapat menyebabkan iritasi yang disebabkan oleh penempelan cawan adesifnya. Dalam intensitas yang tinggi, parasit ini dapat menyebabkan kerusakan yang serius pada sel epidermal inangnya. Pada kondisi tersebut, Trichodina sp. bertindak sebagai ektoparasit sejati yang memakan sel rusak dan dapat menembus masuk ke dalam insang dan jaringan kulit inangnya. Penyebaran Trichodina sp. terjadi melalui kontak langsung dengan ikan atau air yang terkontaminasi (secara horizontal) (Irianto 2005).
I. multifiliis merupakan jenis parasit yang menyebabkan penyakit white spot. Ciri-ciri parasit ini adalah memiliki bentuk makronukleus seperti tapal kuda dan memiliki cilia. Ikan yang terserang parasit ini akan memiliki bintik-bintik putih di sekujur tubuhnya (Hadiroseyani et al 2006). Oodinium sp. memiliki sel vegetative (trophont) yang berbentuk oval atau batang, panjang 30-50 µm, sitoplasma berwarna kuning kecokelatan, terlihat seperti granular. Oodinium sp. merupakan salah satu ektoparasit dan memiliki suboval untuk organ penyerap sel yang telah berkembang dengan baik yang disebut trophont dan terletak pada bagian punggunya (Horiguchi dan Ohtsuka 2001).
Dactylogyrus sp. merupakan salah satu spesies yang tergolong dalam ordo Monogenea. Parasit ini dapat diidentifikasi berdasarkan dua pasang bintik mata dan empat tonjolan yang terdapat pada bagian anterior dan 14 kait marginal (Hadiroseyani et al 2006). Parasit ini dapat ditemukan pada bagian insang, permukaan tubuh dan sirip (Hadiroseyani et al 2006).
Prevalensi merupakan persentasi dari perbandingan antara jumlah ikan yang terinfeksi parasit dengan jumlah ikan yang diperiksa, sedangkan intensitas merupakan rasio jumlah spesies parasit yang menginfeksi dengan jumlah ikan yang terserang parasit (Hadiroseyani et al 2006). Pada ikan Lele, jenis parasit yang mendominasi adalah parasit dari ordo Monogenea dengan prevalensi 71,43% dan intensitas 8,4. Parasit ini dominan ditemukan pada bagian luar tubuh ikan (ektoparasit), namun ada juga yang ditemukan pada bagian dalam tubuh ikan (endoparasit). Platyhelminthes juga banyak ditemukan pada ikan Lele yang ditandai dengan nilai prevalensi sebesar 57,14% dan intensitas sebesar 2,3. Parasit ini umumnya ditemukan pada bagian dalam tubuh ikan Lele (endoparasit). Trichodina sp. yang ditemukan pada lendir ikan Lele memiliki prevalensi sebesarh 42,86% dengan intensitas 4,3. I. multifiliis juga ditemukan pada lendir ikan Lele dengan prevalensi sebesar 28,57% dengan intensitas sebesar 6,5. Jenis parasit yang menginfeksi dengan prevalensi terkecil adalah Oodinium sp. yakni 14,29% dengan intensitas sebesar 1.
Pada ikan Mas, jenis parasit yang paling banyak ditemukan adalah parasit dari filum Platyhelminthes dengan prevalensi sebesar 57.14% dan intensitas sebesar 9,5. Parasit ini umumnya ditemukan pada organ dalam (usus) ikan Mas sebagai endoparasit. Parasit dari ordo Monogenea ditemukan pada bagian luar tubuh (insang dan lendir) ikan Mas (ektoparasit) dengan prevalensi 100% dan intensitas 4,1. Prevalensi Monogenea lebih besar dibandingkan Platyhelminthes karena Monogenea ditemukan pada semua ikan yang diamati sedangkan Platyhelminthes hanya ditemukan pada 4 ekor ikan sampel. Dari segi intensitas,  Platyhelminthes lebih besar dari Monogenea karena jumlah parasit yang ditemukan dari semua ikan yang terinfeksi Platyhelminthes adalah 38 individu sedangkan pada Monogenea hanya 29 individu. Trichodina sp. yang umumnya ditemukan pada lendir ikan Mas (ektoparasit) memiliki prevalensi sebesar 57,14% dengan intensitas sebesar 4,8. I, multifiliis ditemukan pada bagian lendir dan insang ikan Mas dengan prevalensi terkecil yakni sebesar 28,57% dengan intensitas 1.


IV. KESIMPULAN DAN SARAN


4.1    Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa telah mengenal bentuk- bentuk parasit baik ektoparasit maupun endoparasit dari spesimen segar atau hidup yang terdapat pada ikan Mas dan ikan Lele. Ektoparasit dan endoparasit yang ditemukan berupa spesies dari filum Protozoa dan Platyhelminthes. Jenis parasit yang dominan ditemukan pada ikan Lele adalah ordo Monogenea dengan prevalensi 71,43% dan intensitas 8,4, sedangkan pada ikan Mas adalah parasit dari filum Platyhelminthes dengan prevalensi sebesar 57.14% dan intensitas 9,5.

4.2    Saran
Pada praktikum berikutnya diharapkan jenis ikan yang diamati tidak hanya ikan air tawar, melainkan ikan air laut. Hal tersebut diharapkan agar praktikan dapat membedakan jenis parasit yang menginfeksi pada ikan laut dan ikan tawar. Selain itu, diharapkan pula agar identifikasi parasit dilakukan hingga tingkat genus maupun spesies sehingga proses penghitungan intensitas dan prevalensi lebih akurat dan memberi kesempatan kepada praktikan untuk membedakan genus dalam satu ordo suatu organisme.

Tips dan Trik Mengatur Suhu dan pH Air di Tambak Udang untuk Hasil Panen Optimal

Mengelola tambak udang membutuhkan perhatian khusus, terutama dalam menjaga kualitas air. Dua parameter yang sangat penting adalah suhu dan ...