Minggu, 06 Oktober 2019

Guanidinoacetic acid (GAA) dan Perannya dalam Tubuh

Guanidinoacetic acid (GAA) merupakan salah satu bagian dari penyusun guanidine compound (GC). GAA merupakan prekursor kreatin dalam tubuh avertebrata yang dapat digunakan sebagai cadangan energi dalam bentuk ATP (adenosin trifosfat) dalam waktu singkat. Secara umum, setiap hari sebanyak 1,7% kreatin dan fosfokreatin digunakan untuk produksi kreatinin dan dikeluarkan melalui urin. Kreatin yang dibuang dan digunakan tersebut harus selalu digantikan. Kebutuhan kreatin hewan dapat diperoleh melalui pakan (protein) atau melalui sintesis endogenus di dalam tubuh. Penambahan GAA dalam pakan diduga dapat mengefisienkan penggunaan L-arginin dalam tubuh. Efek penambahan GAA lebih terlihat pada organisme yang lebih muda karena organisme yang lebih muda membutuhkan kreatin yang lebih banyak untuk pertumbuhan otot dan selain itu, organisme yang lebih muda memiliki laju regenerasi ATP dari kreatin dan fosfokreatin yang lebih tinggi (Michiels et al. 2012).
GAA umum ditemukan di dalam tubuh manusia dan berperan sebagai prekursor bagi kreatin di hati dan pankreas. Proses perubahan metabolisme GAA secara biologis menjadi kreatin disebabkan oleh penurunan gugus metil dan peningkatan produksi homosistein. Sebanyak 40-75% gugus metil yang digunakan untuk sintesis kreatin melalui reaksi katalisis oleh GAA N-metiltransferase (GAMT). Pemberian pakan yang mengandung GAA akan meningkatkan proses metilasi dan efisien untuk memicu terjadinya hiperhomosisteinemia. Insulin berperan dalam proses metilasi dan metabolisme homosistein. Insulin memberikan efek positif terhadap Glisin N-metiltransferase, yaitu gugus protein yang mengatur suplai dan pemanfaatan gugus metil. Diabetes dipicu oleh metionin sintase, fosfatidiletanol amin N-metiltransferase, dan metilasi DNA juga dikendalikan oleh insulin. Di sisi lain, GAA dapat menstimulasi sekresi insulin dengan efek insulinotropik yang dipicu oleh perubahan elektro-kimia sel β. GAA yang menginduksi insulin akan lebih banyak ditemukan dibandingkan arginin atau kreatin dan kemungkinan tidak hanya ditemukan di sel islet. Hal tersebut menunjukkan adanya potensi GAA dalam memicu sekresi insulin yang dapat memodulasi metabolisme gugus metil dan pada beberapa hal lainnya, dapat berperan dalam menjaga keseimbangan efek GAA dalam meningkatkan proses metilasi (Ostojic 2014).
Ketersediaan GAA yang cukup dalam tubuh ikan dapat memenuhi energi untuk kontraksi otot. Kontraksi otot pada manusia yang terus terjadi menyebabkan pengurasan otot dan pada hewan diduga dapat meningkatkan tekstur daging dan memengaruhi warna daging. Penelitian terkait penambahan GAA dalam pakan untuk meningkatkan kualitas daging, telah dilakukan pada ayam (Michiels et al. 2012). Penambahan GAA dalam pakan dapat meningkatkan jumlah karkas dan meningkatkan kualitas warna daging sehingga warna menjadi lebih cerah. Namun penambahan GAA menyebabkan peningkatan jumlah cairan daging yang hilang saat ditekan (Michiels et al. 2012). 

Metabolisme GAA: sintesis dan pemanfaatan
Guanidinoacetic acid (N-[aminoiminomethy]-glycine) merupakan derivat asam amino yang berperan langsung sebagai prekursor kreatin. GAA dibentuk dari arginin dan glisin melalui reaksi yang dikalisis oleh L-arginin: glycine amidinotransferase (AGAT) (Gambar 2). Enzim AGAT banyak ditemukan di ginjal, pankreas dan hati (Ostojic 2015). Biosistensis GAA memiliki tingkat yang terbatas karena enzim AGAT dapat dihambat oleh kreatin saat fase pretranslasi. Sintesis GAA umumnya terjadi di ginjal dan pankreas, dan sedikit di organ hati dan otot. 
GAA merupakan prekursor dalam proses biosintesis kreatin (CT) yang dikatalisis oleh enzim S-adenosylmethionine: guanidinoacetate N-methyl-transferase (GAMT) dan GAA membutuhkan transfer gugus metil dari SAM untuk membentuk kreatin dan S-adenosylhomocysteine (SAH) (Ostojic 2015). GAMT mengkatalisis transfer satu gugus metil dari S-adenosylmethionine ke GAA untuk membentuk kreatin dan S-adenosylhomocystein (SAH) yang terjadi di organ hati. Jumlah gugus metil yang digunakan untuk mensintesis kreatin yang dikatalisis oleh GAMT sekitar 40% dari total gugus metil yang diberi label. Berbeda dengan AGAT, kreatin tidak memberikan efek timbal balik (penghambatan) terhadap GAMT. Aktivitas GAMT juga dapat ditemukan di organ lain seperti otot, organ reproduksi, limpa, miokardium dan otak. aktivitas GAMT di otot skeletal diduga berperan penting dalam sintesis seluruh kebutuhan kreatin di jaringan otot. Setelah itu, kreatin akan dirilis ke sirkulasi darah dengan bantuan kreatin transporter (SLC6A8, yaitu ko-transporter kreatin Na+/Cl- di membran sel). S-adenosylhomocysteine (SAH) yang merupakan produk lain dalam sintesis GAA dapat dihidrolisis kembali menjadi homosistein dan adenosin lalu kemudian homosistein akan dikatabolis menjadi sistein, dan dimetilasi kembali menjadi metionin atau dikeluarkan ke sistem sirkulasi. GAA dapat dikeluarkan melalui ginjal (Ostojic 2015). 


(Sumber: Tachikawa dan Hosoya 2011)
Gambar 2 Jalur sintesis guanidino compound (GC) di otak.


Proses turnover harian GAA terjadi secara seimbang antara produksi/ pemanfaatan endogenous dan ekskresi ginjal. Pada kondisi sakit, keseimbangan GAA mungkin akan terganggu akibat kelainan proses metabolisme atau akibat kegagalan ginjal. Sebagai contohnya, defisiensi GAMT pada penderita kelainan metabolisme kreatin bawaan, ditandai dengan fenomena kekurangan kreatin dan akumulasi GAA di otak dan cairan tubuh. Kadar GAA yang rendah ditemukan pada penderita gagal ginjal kronis dan penderita diabetes melitus serta penurunan massa otot dan kekuatan otot pada penderita uremic. Pemanfaatan GAA eksogenus dapat bersifat toksik ketika diberikan dengan jumlah GAA suprafisiologis dan pemberian GAA eksogenus ditujukan untuk mempertahankan kadar normal GAA ketika terjadi penurunan kadar saat terjadi gangguan fisiologis (Ostojic 2015). 
      Kreatin dan kreatin fosfat berperan sebagai buffer ATP di jaringan, menjaga kadar ATP ketika terjadi peningkatan kebutuhan energi yang tidak diiringi dengan sintesis ATP yang mencukupi. Kreatin juga berperan dalam menjaga keseimbangan antara sintesis ATP dan pemanfaatan ATP. Kreatin dapat diperoleh melalui pakan dan/atau disintesis de novo dari arginin, Glisin, dan metionin di dalam tubuh (Gambar 3).


      Gugus amidino dari arginin akan ditransfer ke gugus amin glisin, dan menghasilkan ornitin dan asam guanidinoasetik (GAA) yang dikatalisis oleh enzim L-arginin: glisin amidinotransferase (AGAT). GAA dapat dimetilasi pada bagian nitrogen glisin yang dikatalisis oleh S-adenosilmetionin (SAM) sebagai donor metil. Proses tersebut akan menghasilkan kreatin dan s-adenosilhomosistein (SAH) yang dikatalisis oleh enzim guanidinoasetat N-metiltransferase (GAMT). 
Kreatin dan kreatin fosfat dibutuhkan karena secara cepat dan langsung akan diubah menjadi kreatinin. Kreatinin merupakan komponen yang dikeluarkan melalui urin. Kehilangan kreatinin setiap hari dapat mencapai 1,7% dari total pool kreatin tubuh atau sekitar 2 g hari-1 pada laki-laki yang memiliki berat 70 kg. Karena pool kreatin harus selalu konstan maka kreatin yang hilang harus digantikan, baik melalui pakan atau sintesis de novo (da Silva et al. 2009). Secara tidak langsung, GAA memberikan respon positif pada tubuh melalui sintesis kreatin yang dapat berperan dalam membantu sel otot untuk menghasilkan energi yang lebih banyak melalui peningkatan kadar fosfokreatin di otot sehingga ATP yang dapat diproduksi meningkat; membantu pencegahan penyakit psikologis, seperti Parkinson, Alzheimer, stroke ischemic, epilepsy, dan kerusakan otak dan spinal melalui pengontrolan kadar dopamin; dan dapat menurunkan kadar gula darah dan mencegah diabetes melalui peningkatan fungsi GLUT4. 

Peran GAA dalam Kontraksi Otot
       GAA yang dihasilkan dari ginjal melalui sintesis dari arginin dan glisin akan dibawa ke hati kemudian diubah menjadi kreatin dan kreatin fosfat. Kreatin fosfat memiliki residu fosfat yang sama dengan komponen ATP sehingga mudah diubah menjadi ADP. Setelah itu kreatin dan keratin fosfat yang merupakan buffer ATP akan dialirkan melalui pembuluh darah ke otot. Ketika otot mulai mengalami kontraksi, kreatin fosfat akan diubah menjadi ATP dan ketika otot mulai beristirahat, kelebihan ATP dan kreatin akan digunakan untuk mensintesis kreatin fosfat. Proses sintesis bolak-balik kreatin fosfat dan ATP terjadi dengan bantuan enzim kreatin kinase (Koolman dan Roehm 2005) (Gambar 4). Proses kontraksi otot yang terjadi secara terus menerus akan menyebabkan peningkatan konsumsi energi sehingga ketika cadangan energi ATP mulai berkurang, otot akan mengalami kelelahan. Untuk memenuhi kebutuhan energi, glukosa akan difosforilasi secara anerob untuk menghasilkan ATP dan laktat yang dapat digunakan sebagai sumber energi.
       Kebutuhan ATP secara mendadak dapat dipenuhi melalui sintesis ATP dari kreatin fosfat dan ADP. Kreatin dan kreatin fosfat yang berlebih akan diubah menjadi kreatinin melalui reaksi nonenzimatik dan akan diekskresikan melalui urin. Pada serat otot putih, ATP diperoleh melalui glikolisis anaerob, yaitu mengubah glukosa menjadi laktat. Kelebihan laktat akan dibawa ke hati melalui saluran darah untuk diubah menjadi glukosa melalui proses glukoneogenesis (Koolman dan Roehm 2005).

Peran GAA dalam Perbaikan Kualitas Daging
Penambahan kreatin dalam pakan lebih terbatas dibandingkan GAA karena stabilitas yang lebih rendah dan biaya yang lebih mahal. Selain itu, GAA diduga memiliki struktur yang lebih sesuai sebagai sumber nutrien pada hewan. Namun, penambahan GAA dapat menyebabkan peningkatan proses metilasi, yang umumnya berasal dari S-adenosylmethionine (SAM) dan menyebabkan akumulasi homosistein di dalam darah dan defisiensi metionin, kolin, asam folat, vitamin B12 atau kombinasi beberapa nutrien tersebut serta meningkatkan radikal bebas di dalam tubuh (Michiels et al. 2012). 
Penelitian terkait penambahan GAA dalam pakan untuk meningkatkan kualitas daging, telah dilakukan pada ayam (Michiels et al. 2012). Michiels et al. (2012) menemukan bahwa penambahan GAA dalam pakan sebanyak 1,2 g kg-1 dapat meningkatkan jumlah karkas di bagian dada ayam dan meningkatkan kualitas warna daging sehingga warna menjadi lebih cerah (Michiels et al. 2012). Namun dari segi nutrien, kadar nutrien ayam yang diberi pakan mengandung GAA tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol. Selain itu, penambahan GAA juga dapat menurunkan kadar pH daging pada kondisi post-mortem dan jumlah cairan yang hilang setelah ditekan (press) dan dimasak lebih tinggi. Penurunan pH daging terjadi akibat penyusun serat otot yang umumnya terdiri dari serat otot fast-twitch (tipe IIB) yang langsung digunakan dalam metabolisme glikolitik. Pada fase post mortem, serat otot tersebut banyak menghasilkan asam laktat sehingga dapat menurunkan pH daging dan kapasitas penampungan air (water-holding capacity) dan menyebabkan penurunan nilai jual (Michiels et al. 2012). Jumlah cairan daging yang banyak hilang saat ditekan akan memberikan efek negatif terhadap kadar nutrien karena dapat menyebabkan penurunan kadar nutrien, terutama yang larut dalam air (Huff-Lonergan 2010).

Peran GAA saat Terjadi Stres
    Saat terjadi cekaman, baik berupa kejutan atau stres, jumlah energi yang dibutuhkan untuk menstabilkan fungsi tubuh cukup besar. Kreatin fosfat yang merupakan cadangan energi tinggi yang dapat digunakan dalam waktu singkat akan dimanfaatkan sebagai sumber energi. Kreatin fosfat hanya dapat menopang kebutuhan energi tubuh dalam waktu 5-8 detik (Atalay dan Hanninen 2019). Cekaman dapat menyebabkan peningkatan adrenalin dan kortikosteron. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan energi tubuh meningkat sehingga laju metabolisme yang meningkat. Sumber energi yang paling mudah dan cepat untuk digunakan adalah kreatin fosfat dan kreatin yang dapat ditemukan di seluruh otot (95-98% di otot) (Koga et al. 2005). Saat kadar adrenalin meningkat, aktivitas kreatin kinase akan meningkatkan agar kreatin segera diubah menjadi ATP (Pighin et al. 2013). Kadar kortikosteron yang tinggi juga akan memicu pemanfaatan GAA sehingga diubah menjadi kreatin dan menghasilkan energi serta memberikan respon sedatif sehingga kadar kortikosteron akan menurun. Efek sedatif kreatin muncul akibat interaksi antara GAA dan kreatin dengan reseptor GABA A di otak (Koga et al. 2005).

GAA dan Stres oksidatif
        GAA yang disintesis dari glisin merupakan substrat untuk nitric oxide synthase (NOS) dan dapat meningkatkan produksi nitric oxide (NO) yang merupakan radikal bebas dan juga mengatur proses metabolisme, meningkatkan kontraksi otot dan meningkatkan pengambilan glukosa di otot skeletal (Zugno et al. 2008). NO yang terbentuk dalam jumlah banyak akan menyebabkan stress nitrooksidatif. NO dapat bereaksi dengan beberapa molekul oksidatif seperti oksigen, ROS, metal transisi, dan tiol sehingga dapat menghasilkan beberapa jenis nitrogen reaktif (RNS). NO yang berinteraksi dengan superoksida akan menghasilkan ONOO- secara cepat sehingga terjadi akumulasi ONOO- dan membentuk NO2•, OH•, NO2+, dan OH- (Soneja et al. 2005).
       Penambahan GAA yang tinggi akan menyebabkan terjadinya akumulasi dalam tubuh. Dampak negatif dari proses akumulasi tersebut muncul ketika akumulasi GAA terjadi di dekat atau di sekitar neuron pada foci epileptogenic, nefron di uremic, dan striatum (otak) (Mori et al. 1996; Zugno et al. 2008). Pada tikus, penambahan GAA 50 uM dan 100 uM menyebabkan penurunan enzim superoksida dismutase (SOD) dan total radical-trapping antioxidant potential (TRAP) secara signifikan serta menurunkan kadar glutation. Hal tersebut diduga terjadi akibat adanya potensi GAA untuk meningkatkan stres oksidatif di striatum (Zugno et al. 2008). 

GAA dalam Penanganan Kelainan Neural
     Gangguan neural dapat disebabkan oleh CT deficiency syndrome (CDS) yang merupakan penyakit bawaan. Hal tersebut menyebabkan keterbelakangan mental, gangguan bicara, epilepsy, gejala ektrapiramidal, dan gejala autis. CDS biasanya ditandai dengan keterbatasan genetik pada enzim AGAT, GAMT dan transporter kreatin (CTR). Kreatin diduga tidak bisa melewati blood-brain barrier (BBB) sehingga suplai kreatin di otak umumnya berasal dari biosintesis kreatin di otak. Gangguan neural akibat CDS lebih banyak disebabkan oleh keterbatasan CTR dibandingkan AGAT dan GAMT. Hal ini dibuktikan dengan pemberian kreatin melalui oral pada pasien yang mengalami defisiensi AGAT dan GAMT dapat memberikan efek positif sedangkan pada pasien yang mengalami defisiensi CRT tidak menunjukkan peningkatan gejala neurologis (Tachikawa dan Hosoya 2011). 
      Penumpukan GAA di otak dapat menyebabkan komplikasi neurologi seperti epilepsy dan seizures pada pasien yang mengalami defisiensi GAMT. Penumpukan GAA dapat terjadi akibat gangguan transporter (CRT) di otak sehingga. CRT berperan dalam mengatur transpor GAA di otak. Selain CRT, taurine transport (TauT) dan OCT3 juga berperan dalam mengatur kadar GAA di otak melalui mekanisme blood-cerebrospinal fluid barrier (BCSFB) (Tachikawa dan Hosoya 2011) (Gambar 5). 


GAA dalam meningkatkan GLUT4
Peran GAA untuk meningkatkan GLUT4 terjadi secara tidak langsung, yaitu melalui sintesis kreatin dan keterbatasan energi saat terjadi kontraksi otot. Ketika berolahraga, akan terjadi perubahan komposisi melalui penurunan kadar lemak dan peningkatan jaringan otot. Perubahan tersebut terjadi dari komponen adiposa ke muscular sehingga meningkatkan pelepasan glukosa tubuh. Namun, perubahan insulin yang distimulasi oleh glukosa hanya terjadi pada kegiatan olahraga aerobik, seperti berlari. Ketika otot berkontakan dengan glukosa yang tinggi selama proses olahraga, akan terjadi perubahan mekanisme dalam tubuh. Perubahan mekanisme tubuh dapat meningkatkan jumlah transporter glukosa dan meningkatkan aktivitas metabolisme enzimatik. Kegiatan olahraga dalam jangka panjang akan meningkatkan kebutuhan glukosa sebagai sumber energi. Pemenuhan glukosa dilakukan melalui peningkatan transport glukosa dari dalam darah untuk diproses lebih lanjut dan menghasilkan energi. Hal ini dibuktikan oleh yang menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi protein GLUT-4 di otot pada seorang atlit (Ebeling et al. 1993) (Gambar 6).


Minggu, 29 September 2019

ANALISIS RISIKO IMPOR PENYAKIT TILAPIA LAKE VIRUS PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus

(Tugas Mk. EVALUASI SISTEM DAN PRODUKSI AKUATIK)




PENDAHULUAN

Ikan nila Oreochromis niloticus merupakan salah satu komoditas budidaya yang cepat tumbuh, mudah dibudidayakan, dan relatif tahan penyakit. Ikan nilai juga merupakan salah satu primadona pembudidaya ikan. Hal ini dapat dilihat dari tingkat produksi ikan nila yang menempati peringkat kedua terbesar di Indonesia yakni lebih dari 2 juta metrik ton di tahun 2017. Produksi ikan nila Indonesia menempati posisi kedua setelah Cina (Kep-BKIPM 2017). Ikan nila juga merupakan komoditas penting dalam akuakultur dunia dengan total produksi sebanyak 4200 juta ton pada tahun 2016 dan meningkat 8% dari tahun 2015 (FAO 2018).
Kegiatan produksi ikan nila terus meningkat dan semakin intensif sehingga muncul beberapa kendala dalam produksi ikan nila, seperti infeksi penyakit. Ikan nila, khususnya di Indonesia, umumnya dibudidayakan di lingkungan terbuka sehingga mudah terpapar oleh patogen. Beberapa penyakit yang sering ditemukan pada ikan nila adalah penyakit Motile Aoeromonas Septicaemia (MAS), vibriosis, columnaris, edwarsiellosis, streptococcosis, saprolegniasis, ciliates, dan monogenetic trematodes. Penyakit tersebut disebabkan oleh infeksi bakteri seperti  Aeromonas hydrophila, Vibrio anguillarum, Flavobacterium columnae, Edwardsiella tarda, Streptococcus iniae, Enteroccoccus sp., dan Streptococcus agalactiae, infeksi fungi seperti Saprolegnia parasitica, infeksi parasit seperti Ichthyopthirius multifilis, Trichodina sp., Dactylogyrus spp., dan Gyrodactylus spp. (www.fao.org/fishery/culturedspecies/Oreochromis_niloticus/en#tcNA00C5).
Pada dekade terakhir, muncul penyakit baru (new emerging disease) pada ikan nila akibat infeksi virus dari keluarga Orthomyxoviridae (Eyngor et al. 2014) dan dikenal dengan nama penyakit Tilapia Lake Virus (TiLV). Penyakit tersebut secara resmi telah dilaporkan di Benua Asia, Afrika dan Amerika, yaitu di Kolombia, Ekuador, Israel, Mesir, Thailand, India, Malaysia, dan Filipina (Jansen dan Mohan 2017, OIE 2017). Infeksi penyakit TiLV dapat menyebabkan penurunan produksi ikan yang cukup besar (kematian hingga 80%) sehingga dapat menyebabkan kerugian ekonomi (Fathi et al. 2017).
Sebagai salah satu negara penghasil ikan nila terbesar di dunia, Indonesia harus mewaspadai dan melakukan antisipasi terhadap kemungkinan masuk dan tersebarnya penyakit TiLV di Indonesia. Lalu lintas perdagangan ikan nila, baik ikan hidup dan/atau ikan mati, antar negara atau antar daerah akan meningkatkan peluang masuk dan tersebarnya penyakit TiLV di Indonesia. Langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah hal tersebut adalah pelarangan importasi ikan nila dari negara yang terinfeksi TiLV. Larangan impor ikan nila dari negara yang terinfeksi TiLV dinyatakan dalam surat edaran No.3975/DJBP/VII/2017 (Kep-BKIPM 2017).  
Analisis risiko dapat dilakukan dengan menggunakan metode Analisis Risiko Hama dan Penyakit Ikan (ARHPI). Metode analisis tersebut dilakukan untuk menentukan tingkat keseluruhan risiko dari suatu patogen penyebab penyakit secara ilmiah dan transparan serta mencakup identifikasi bahaya, penilaian, manajemen dan komunikasi risiko yang sesuai dengan ketentuan internasional. Pedoman ARHPI telah diatur dalam KEPMEN KP No. 337/BKIPM/2011 dengan menjelaskan tentang proses analisis risiko terhadap media pembawa yang berpotensi mengganggu kelestarian sumber daya hayati perikanan. Analisis risiko penyakit TiLV harus dilakukan agar dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan.

METODOLOGI

Paper ini dibuat melalui kajian pustaka dan data sekunder dari berbagai referensi seperti surat keputusan BKIPM, jurnal dan artikel review ilmiah. Analisis risiko dilakukan dengan menilai beberapa faktor seperti asal media pembawa, tingkat risiko media pembawa terhadap potensi penyebaran HPI, kemampuan HPI bertahan hidup, tingkat virulensi HPI, ketersediaan inang potensial, lingkungan yang memengaruhi perkembangan HPI, tingkat kesulitan HPI, tingkat kesulitan memusnahkan HPI dan dampaknya terhadap aspek ekonomi. Analisis risiko dilakukan berdasarkan metode Analisis Risiko Hama dan Penyakit Ikan (ARHPI) dan sesuai dengan KEPMEN KP No. 337/BKIPM/2011 tentang Pedoman Analisis Risiko Hama dan Penyakit Ikan. Landasan hukum yang digunakan dalam kegiatan analisis risiko impor penyakit TiLV adalah UU No. 16 tahun 1993, UU No. 32 tahun 2009, PP No. 14 tahun 2002, PPRI No. 50 tahun 2007, PERMEN KP No. PER.20/MEN/2007, PERMEN KP No. PER.16/MEN/2011, KEPMEN KPRI No. 80/KEPMEN-KP/2015, dan KEP-BKPMKHP No. 337 tahun 2011 tentang karantina hewan, ikan dan tumbuhan, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, konservasi sumber daya ikan, jenis HPIK, golongan, media pembawa dan sebarannya serta pedoman analisis risiko importasi ikan dan produk perikanan. Hasil penilaian tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar untuk penentuan tingkat risiko, manajemen risiko dan komunikasi risiko infeksi TiLV di Indonesia. Hasil analisis risiko TiLV dapat dijadikan dasar dalam pengambilan tindakan bagi otoritas berwenang untuk menghindari dan meminimalisir risiko masuknya TiLV ke Indonesia.


PEMBAHASAN

Tilapia Lake Virus Disease (TiLV) yang juga dikenal dengan istilah Syncytial Hepatitis of Tilapia (SHT) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi TiLV. Virus TiLV memiliki virion yang berbentuk ekosahedral dan memiliki amplop ukuran 55-100 nm (Eyngor et al. 2014; Ferguson et al. 2014; del-Pozo et al. 2017). Hasil berbeda diperoleh dalam penelitian Tattiyapong et al. 2017) yang menunjukkan bahwa TiLV virus yang ditemukan di organ otak ikan nila, memiliki virion yang beramplop, namun ada juga yang tidak beramplop.  Genom TiLV berukuran 456-1.641 nukleotida yang terdiri dari 10 protein (Bacharach et al. 2016). TiLV memiliki kesamaan residu asam amino dengan kelompok virus Orthomyxovitidae. TiLV Israel memiliki kesamaan genetik sebesar 97,2-99%, TiLV Ekuador sebesar 98,7-100% (Bacharach et al. 2016), sedangkan TiLV Thailand sebesar 97,35-98,84% (Dong et al. 2017b). Virus TiLV dapat berkembang biak pada sel primer otak ikan nila atau di dalam sel E-11. Virus tersebut menghasilkan efek sitopatik pada 5-10 hari pasca infeksi (Eyngor et al. 2014). 
Infeksi TiLV telah dilaporkan di Benua Asia, Afrika dan Amerika, khususnya di Kolombia, Ekuador, Israel, Mesir, Thailand, India, Malaysia, dan Filipina. Sebanyak 5 negara telah mengkonfirmasi keberadaan TiLV di negaranya dan sebanyak 43 negara yang memiliki risiko tinggi dan hanya 3 negara yang dilaporkan memiliki risiko rendah terhadap infeksi TiLV (Gambar 1) (Dong et al. 2017a). Lima negara yang telah mengkonfirmasi positif terinfeksi TiLV adalah Ekuador, Israel, Mesir, Thailand dan Kolombia, sedang 43 negara yang memiliki risiko tinggi terhadap infeksi TiLV adalah Algeria, Bahrain, Bangladesh, Belgium, Burundi, Canada, China, Congo, El-Salvador, Germany, Guatemala, India, Indonesia, Japan, Jordan, Laos, Malaysia, Mexico, Mozambique, Myanmar, Nepal, Nigeria, Pakistan, Philippines, Romania, Rwanda, Saudi Arabia, Singapore, South Africa, Sri Lanka, Switzerland, Tanzania, Togo, Tunisia, Turkey, Turkmenistan, Uganda, Ukraine, United Arab Emirate, United Kingdom, United States, Vietnam dan Zambia (Dong et al. 2017a). Infeksi TiLV dapat terjadi secara cepat dalam kegiatan budidaya ikan nila yang dilakukan di bak tertutup (hatchery) maupun pada bak di lingkungan terbuka karena TiLV dapat ditemukan di aliran air dan sistem irigasi (Dong et al. 2017). 


TiLV yang merupakan salah satu virus RNA dapat menyebabkan kematian pada ikan nila liar Sarotherodon (Tilapia) galilaeus, ikan nila Oreochromis niloticus dan ikan nila hibrida O. niloticus x O. aureus (Bacharach et al. 2016); Ferguson et al. 2014; Eyngor et al. 2014). Infeksi TiLV dengan dosis 1 x 106 TCID50 fish-1 menunjukkan bahwa ikan nila (O. niloticus) lebih rentan terhadap ikan nila merah (Oreochromis spp.) (Gambar 2) (Tattiyapong et al. 2017). Akan tetapi, ikan nila yang dipelihara secara polikultur dengan ikan belanak Mugil cephalus dan karper Cyprinus carpio ditemukan rentan terhadap infeksi TiLV di Israel (Eyngor et al. 2014) dan ikan nila yang dipelihara dengan ikan grey mullet dan thin-lipped mullet di Mesir (Fathi et al. 2017). Ikan nila rentan terhadap infeksi TiLV saat stadia benih (Dong et al. 2017b). Ikan nila merah yang ditebar selama 1 bulan di karamba mengalami kematian sebesar 90%, sedangkan pada ukuran yang lebih besar hanya 9% (Fathi et al. 2017). Selain faktor ukuran dan stadia ikan, faktor lingkungan dan tingkat padat tebar juga dapat memengaruhi infeksi TiLV. TiLV menyerang pada kondisi suhu air sekitar 25-27 ˚C di Ekuador dan pada kondisi suhu air 22-32 ˚C di Israel (Eyngor et al. 2014). Infeksi TiLV tidak menyebabkan kematian pada suhu air <20 ˚C namun menyebabkan banyak kematian saat suhu air sekitar 30 ˚C (Tsofack et al. 2016). 


Organ target TiLV adalah limpa, ginjal, mata, otak, dan hati. Konsentrasi TiLV yang tinggi juga dapat ditemukan pada limbah padat dan cair yang terkontaminasi. Hal tersebut menyebabkan adanya potensi penularan TiLV secara horizontal. Gejala klinis dari ikan nila yang terinfeksi TiLV adalah kehilangan nafsu makan, lesu, berperilaku tidak normal seperti berenang di permukaan, anemia, pucat, exophthalmia, pembengkakan perut, dan adanya congestion dan erosi kulit (Dong et al. 2017; Surachetpong et al. 2017). Hasil histologi organ otak ikan nila yang terinfeksi TiLV menunjukkan adanya lesi, edema, perdarahan fokal, dan kongesti kapiler serta degenerasi saraf. TiLV juga dapat menyebabkan kerusakan organ dalam seperti kongesti di ginjal dan otak, gliosis dan pembengkakan perivascular di korteks otak serta lesi okular seperti endophthalmitis dan perubahan lensa katarak (Eyngor et al. 2014) (Gambar 3a). Tattiyapong et al. 2017 menunjukkan bahwa ikan nila yang diinfeksi dengan TiLV memiliki gejala adanya peningkatan egregasi sel, vakuolasi seluler, penyusutan sel, dan formasi foci yang hilang di sekitar sel (Gambar 3b). Deteksi dini infeksi TiLV dapat dilakukan dengan metode PCR, seperti Reverse Transcriptase PCR (RT-PCR), real-time PCR dan nested PCR dengan menggunakan primer spesifik untuk nested 1 (EXT-1: 5’- TATGCA-GTACTTTCCCTGCC-3’ dan ME 1: 5’-GTTGGGCACAAGGCATCCTA-3’ dan semi nested (7450/150R /ME 2: 5’-TATCACGTGCGTACTCGTTCAGT-3’ dan ME 1: 5’-GTTGGGCACAAGGCATCCTA-3’) (Eyngor et al. 2014). Virus TiLV dapat dideteksi dengan Nested PCR minimal 7 kopi urutan TiLV (Tsofack et al. 2016). Selain menggunakan metode PCR, identifikasi ikan yang terinfeksi TiLV juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode histopatologi dan in situ hybridization (Bacharach et al. 2016; Jansen dan Mohan 2017). 

Analisis Risiko Penyakit TiLV

Penilaian risiko infeksi TiLV dapat dilakukan melalui pendekatan skoring kuantitatif. Faktor yang dinilai berupa asal media pembawa, tingkat risiko media pembawa terhadap potensi penyebaran HPI, kemampuan HPI bertahan hidup, tingkat virulensi HPI, ketersediaan inang potensial, lingkungan yang memengaruhi perkembangan HPI, tingkat kesulitan HPI, tingkat kesulitan memusnahkan HPI dan dampaknya terhadap aspek ekonomi (Tabel 1). Hasil penilaian tersebut digunakan untuk penentuan status pemasukan TiLV yang terdiri dari tiga kategori, yaitu risiko rendah (skor 11-18), risiko sedang (skor 19-25) dan risiko tinggi (skor 26-33) (Kep- BKIPM 2017).

Tabel 1 Hasil penilaian risiko wabah TiLV (Kep-BKIPM 2017).
No.
Faktor
Skor
Keterangan
1
Asal media pembawa
3
Spesies yang rentan dan berpeluang menjadi media pembawa adalah ikan nila hibrida O. niloticus x O. aureus, ikan nila merah Oreochromis sp., Sarotherodon galilaeus, Tilapia Zilli dan O. aureus. Ikan tersebut belum masuk ke Indonesia dan TiLV masuk dalam daftar HPIK golongan 1
2
Tingkat virulensi
3
Tingkat virulensi TiLV diukur dengan melihat tingkat kematian ikan yang terinfeksi ketika kematian yang terjadi >60 % dalam waktu kurang dari 72 jam.
3
Kemampuan TiLV bertahan hidup

2
TiLV dapat ditemukan di dalam produk ikan beku sehingga dapat bertahan hidup dalam tubuh inang yang hidup maupun yang mati
4
Tingkat kesulitan deteksi
1
Deteksi TiLV dapat dilakukan dengan metode histopatologi dan molekular dengan metode RT-PCR.
5
Tingkat kesulitan pengendalian
3
Infeksi TiLV belum bisa dikendalikan karena virus tersebut masuk dalam daftar HPIK golongan 1
6
Lingkungan yang mempengaruhi perkembangan HPIK/HPI tertentu
3
Indonesia sebagai salah satu negara tropis memiliki kondisi lingkungan yang sangat cocok bagi perkembangan TiLV.
7
Tingkat risiko media pembawa terhadap potensi Penyebaran HPIK/HPI tertentu
3
Spesies ikan nila yang memiliki potensi tinggi terhadap penyebaran TiLV memiliki tingkat produksi yang tinggi sehingga risiko sebagai media pembawa terhadap potensi penyebaran HPIK/HPI masih tinggi
8
Epidemologi
2
Epidemologi TiLV di negara-negara yang terinfeksi telah teridentifikasi meskipun masih dikhawatirkan masih ada beberapa negara yang belum menyatakan sebagai negara infeksi TiLV.
9
Spesifikasi inang
3
TiLV hanya menyerang ikan nila hibrida dan ikan nila liar di Israel, Mesir, Ekuador, dan Thailand. Spesies tersebut dapat menjadi media pembawa yang rentan (susceptible).
10
Dampak ekonomi
3
Wabah TiLV dapat memberikan dampak yang cukup merugikan secara ekonomis. Kematian ikan lebih dari 80% dan penurunan hasil tangkapan dapat menyebabkan kerugian ekonomi sekitar USD 100 juta (98.000 metrik ton). Selain kerugian ekonomi, TiLV juga menyebabkan penurunan kualitas media pembawa dan keragaman hayati komoditas perikanan
11
Dampak biologi
3
TiLV dapat menyebabkan kerugian penurunan biodiversitas komoditas perikanan melalui ancaman spesies asli ikan Indonesia.
Total
29
Risiko tinggi

Penilaian risiko juga dapat dilakukan berdasarkan status negara asal TiLV. Status negara asal TiLV dibedakan menjadi negara wabah (Israel, Mesir, Ekuador, Thailand dan Taiwan) dan negara berisiko (negara-negara yang berpeluang terpapar TiLV) (Kep-BKIPM 2017) (Lampiran 1 dan Lampiran 2).  Negara-negara yang berisiko terinfeksi TiLV memiliki potensi terinfeksi TiLV karena melakukan impor ikan nila, memiliki kedekatan geografis dengan negara wabah TiLV serta memiliki hubungan perdagangan media pembawa TiLV (Dong et al. 2017b).
Berdasarkan hasil analisis risiko penyakit TiLV tersebut diketahui bahwa pemasukan TiLV ke Indonesia memiliki risiko yang tinggi dengan skor total 29, baik pada risiko infeksi TiLV, risiko terhadap negara wabah dan risiko terhadap negara yang berisiko tinggi terhadap penyebaran penyakit TiLV. Penilaian tersebut didasarkan dari beberapa faktor salah satunya keberadaan dan penyebaran TiLV di Indonesia yang masih belum ada (bebas TiLV) dan penyakit TiLV masih termasuk dalam daftar HPIK golongan 1. Selain belum ditemukan di Indonesia, TiLV dapat menyebabkan kerugian ekonomi dan biologis yang cukup tinggi. Hal tersebut yang menyebabkan tingginya risiko pemasukan TiLV ke Indonesia (Kep-BKIPM 2017). Kegiatan pengobatan untuk infeksi TiLV belum ditemukan. Namun kegiatan pencegahan dapat dilakukan dengan penerapan biosekuriti yang ketat, manajemen kegiatan budidaya dan penerbitan kebijakan terkait pelarangan kegiatan perdagangan dari negara yang terinfeksi (CGIAR 2017). Dong et al. (2017a) merekomendasikan beberapa tindakan yang harus diambil untuk mencegah terjadinya penyebaran infeksi TiLV. Rekomendasi tersebut di antaranya adalah:
a. Pelaksanaan kegiatan surveilan yang segera dilakukan khususnya pada 43 negara yang berisiko tinggi terkena infeksi TiLV karena virus tersebut dapat disebarkan secara langsung dan tidak langsung melalui perpindahan benih dan juvenil ikan nila dari 5 negara yang terinfeksi.
b. Penerapan biosekuriti untuk mencegah penyebaran TiLV secara luas khususnya di negara-negara yang tidak tercatat sebagai negara berisiko terinfeksi TiLV.
c. Penggunaan vaksin untuk meningkatkan sistem imun ikan mungkin tidak bisa dijadikan sebagai langkah pencegahan yang efektif karena infeksi TiLV terjadi pada stadia awal ikan nila (telur terbuahi, benih dan juvenil).
d. Melakukan penelitian terkait metode deteksi TiLV yang lebih akurat dan cepat pada induk ikan nila sehingga benih dan juvenil ikan nila yang bebas TiLV dapat dilakukan.
e. Pelaksanaan beberapa program khusus untuk mendukung pengembangan stok induk ikan nila yang bebas TiLV dan patogen lainnya (specific pathogen free (SPF)) untuk mengurangi dampat penyakit global ikan nila.
f. Penelitian terkait hubungan virulensi TiLV dan ikan nila seperti status kesehatan, genetik dan lain-lain harus dilakukan untuk mengurangi risiko tingkat kematian massal pada ikan nila yang terinfeksi TiLV.
Manajemen Risiko

Berdasarkan hasil penilaian risiko tersebut, maka dibutuhkan kegiatan manajemen risiko agar dampak merugikan dari introduksi TiLV ke Indonesia dapat diminimalisir dan dihilangkan. Manajemen risiko dapat dilakukan dengan melarang proses pemasukan ikan nila ke wilayah Indonesia hingga batas waktu tertentu. Dalam kondisi kegiatan importasi ikan nila harus dilakukan makan harus memenuhi persyaratan proses manajemen risiko yang disesuaikan dengan negara asal ikan yang akan diimpor, yaitu dari negara bebas TiLV, negara berisiko TiLV, dan daerah domestik (antar daerah). Persyaratan importasi yang harus dipenuhi mencakup kegiatan karantina sebelum pemasukan (pre-quarantine), saat pemasukan (in-quarantine) dan setelah pemasukan (post-quarantine) (Tabel 2) (Kep-BKIPM 2017). 

Tabel 2 Persyaratan kegiatan importasi ikan dari negara bebas, negara berisiko dan domestik (antar daerah) (Kep-BKIPM 2017).
No.
Tahap karantina
Syarat
Negara  bebas TiLV
1
Sebelum pemasukan
a.   Negara eksportir telah melakukan program surveilan dan dilengkapi dengan hasil screening bebas TiLV minimal 2 tahun serta memiliki Health Certificate (HC) yang diterbitkan oleh otoritas kompeten sesuai dengan metode standar
b.  Negara eksportir telah menerapkan prinsip Good Aquaculture Practices (GAP) dengan grade A.
c.   Dilarang menurunkan atau transit media pembawa di negara yang tidak bebas TiLV (negara wabah) yang dibuktikan dengan Surat Muat Udara atau Bill of Loading.
2
Saat pemasukan
a.   Ikan yang diimpor harus melalui 5 bandar udara yang ditetapkan (BBKIPM Jakarta I, BKIPM kelas I Medan I, BKIPM kelas I Denpasar, dan BBKIPM Makasar).
b.  Barang yang diimpor harus dilaporkan dan diserahkan ke petugas karantina.
c.   Pihak pengimpor harus dilengkapi dengan sertifikat Cara Karantina Ikan yang Baik (CKIB) dengan Grade A dan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB)/ GAP dengan grade A.
d.  Barang yang diimpor harus dilengkapi dengan HC dan/atau Certificate of Origin (CoO) yang diterbitkan oleh instansi berwenang di negara asal.
e.   Pengimpor harus melampirkan Surat Izin Pemasukan Ikan Hidup yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
f.   Pengimpor harus melampirkan Surat Ijin Pemasukan Hasil Perikanan yang diterbitkan oleh Ditjend PDSPKP/
g.  Pengekspor harus melampirkan Laporan Hasil Uji (LHU) dengan metode uji sesuai dengan metode standar dan Surat Muat Udara (Bill of Loading).
3
Setelah pemasukan
Kegiatan karantina harus dilakukan selama 14 hari sejak surat rilis (pelepasan) diterbitkan.
Negara berisiko TiLV
4
Sebelum pemasukan
a.   Ikan nila yang diimpor berasal dari unit usaha budidaya yang telah melakukan surveilen selama 2 tahun dan dilengkapi dengan laporan hasil screening bebas TiLV minimal 2 tahun.
b.  Pengekspor melampirkan HC yang diterbitkan oleh otoritas kompeten di negara asal dengan metode standar
c.   Pengekspor telah menerapakan prinsip GAP dengan grade A.
d.  Pengekspor dilarang menurunkan atau transit media pembawa di negara wabah yang dibuktikan dengan Surat Muat Udara.
5
Saat pemasukan
Tindakan karantina dilakukan sesuai dengan ketentuan pemasukan dari negara bebas.
6
Setelah pemasukan
Kegiatan pemantauan dilakukan sesuai dengan ketentuan pemasukan dari negara bebas.
Domestik
7
a.   Melakukan surveilan aktif dan pasif dengan hasil uji TiLV negatif
b.  Ikan nila yang akan dikirim harus dilengkapi dengan HC dan LHU bebas TiLV dengan metode uji sesuai standar.
c.   Pelaku usaha yang akan melalulintaskan ikan nila telah menerapkan CBIB, Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CBIP) dan CKIB dengan grade minimal B secara konsisten.
8
Penetapan kawasan karantina terhadap area teridentifikasi positif TiLV.
Komunikasi Risiko

Komunikasi risiko dilakukan dengan mengumpulkan informasi dan opini terkait bahaya dan risiko yang akan diterima oleh semua pihak terkait dalam kegiatan analisis risiko impor serta penyampaian hasil analisis dan pengelolaan risiko di negara pengimpor dan pengekspor. Komunikasi risiko dilakukan dengan melalui beberapa tahap, diantaranya tahap identifikasi bahaya, penilaian risiko dan manajemen risiko TiLV pada ikan nila sebelum ditetapkan menjadi suatu kebiajakan importasi dan lalu lintas domestik di Indonesia. Hasil analisis risiko HPI akan dinilai secara bersama-sama oleh beberapa pihak yang kompeten seperti pakar ahli di bidang kesehatan ikan yang bergabung dalam tim, pembuatan kebijakan, pembudidaya, pelaku usaha dan tenaga fungsional PHPI karantina ikan. Hasil analisis yang diperoleh akan disosialisasikan kepada pihak terkait seperti Dirjen Perikanan Budidaya (DJBP) sebagai instansi yang berwenang dalam perizinan impor, Pusat Riset Perikanan, Badan Riset Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), akademisi dan pelaku usaha perikanan (importir dan eksportir). Sosialisasi dilakukan untuk memberikan informasi dan pemahaman yang lebih baik terkait proses analisis risiko TiLV pada ikan nila serta sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan manajemen risiko yang diambil (Kep-BKIPM 2017). 


KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penilaian analisis risiko diperoleh hasil bahwa wabah TiLV termasuk hama dan penyakit ikan yang sangat berisiko dengan skor hasil analisis sebesar 29. Hal yang perlu dilakukan adalah mewaspadai impor ikan nila dan media pembawa dari negara wabah TiLV dan negara yang berisiko. Selain itu, pengengolaan risiko dilakukan untuk mengantisipasi masuk dan menyebarnya TiLV ke Indonesia. Langkah yang dapat dilakukan adalah penerapan karantina sebelum pemasukan (pre-quarantine), saat pemasukan (in-quarantine) dan setelah pemasukan (post-quarantine).


LAMPIRAN

Lampiran 1 Kriteria penilaian risiko terhadap negara wabah TiLV (Kep BKIPM 2017)
No.
Faktor
Katogeri
Nilai asumsi
Uraian
Penilaian
1.
Asal media pembawa
a.   Berasal dari negara yang terdapat patogen yang belum ada di wilayah atau sebagian wilayah RI/ Gol I
b.  Berasal dari kawasan yang sedang terdapat wabah penyakit atau berasal dari negara yang bukan negara anggota OIE
c.   Berasal dari negara yang belum menerapkan sistem perkarantinaan ikan (good quarantine system)
d.  Berasal dari kawasan budidaya yang belum menerapkan good aquaculture system
3



2




1
Bila kategori a dan/atau b terpenuhi

Bila kategori a dan b tidak terpenuhi dan sekurang-kurangnya 2 kategori lainnya

Bila kategori a dan b tidak terpenuhi tetapi satu kategori lainnya terpenuhi
3
2.
Tingkat virulensi HPI
a.   Kematian >60% dalam waktu < 72 jam
b.  Kematian 30-60% dalam waktu 3-14 hari
c.   Kematian <30% dalam waktu >14 hari
3

2

1

3
3
Kemampuan HPI bertahan hidup
a.   Mampu hidup di dalam tubuh inang yang hidup ataupun yang mati dan berasosiasi dengan aquatic plant, dan krustase lainnya.
b.  Mampu hidup di dalam tubuh inang yang hidup ataupun yang mati
c.   Hanya mampu hidup di dalam tubuh inang hidup
3




2


1
Bila kategori a terpenuhi



Bila kategori b terpenuhi

Bila kategori c terpenuhi
2
4.
Tingkat kesulitan deteksi HPIK
a.   Belum ada metode deteksi standar
b.  Sudah ada metode deteksi standar
3

1
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi
1
5
Tingkat kesulitan pengendalian HPIK
a.   Tidak bisa dilakukan pengendalian
b.  Bisa dilakukan pengendalian
3

1
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi
3
6
Lingkungan yang mempengaruhi perkembangan HPI
a.   Kondisi lingkungan perairan sangat mendukung untuk perkembangan HPI
b.  Kondisi lingkungan perairan kurang mendukung perkembangan HPI
c.   Kondisi lingkungan perairan tidak mendukung/tidak sesuai untuk perkembangan HPI
3


2


1
Bila kategori a terpenuhi

Bila kategori b terpenuhi

Bila kategori c terpenuhi
3
7
Tingkat risiko media pembawa terhadap potensi Penyebaran HPI
a.   Media pembawa berpotensi tinggi terhadap penyebaran penyakit
b.  Media pembawa berpotensi sedang terhadap penyebaran penyakit
c.   Media pembawa berpotensi rendah terhadap penyebaran penyakit
3

2

1
Susceptible host yang dibudidayakan secara luas
Susceptible host dibudidayakan secara terbatas
Host yang tidak ada kaitannya dengan penyakit untuk konsumsi
3
8
Epidemiologi
a.   Epidemiologi HPI negara asal sama sekali tidak diketahui
b. Epidemiologi HPI negara asal baru sebagian diketahui.
c.   Epidemiologi HPI negara asal telah diketahui secara lengkap
3


2

1
Bila kategori a terpenuhi

Bila kategori b terpenuhi.
Bila kategori c terpenuhi
2
9
Spesifikasi inang
a.   Media pembawa yang rentan/ Susceptible
b. Media pembawa yang tidak rentan dan bukan carrier/ non susceptible
3

1
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi
3
10
Dampak ekonomi
a.   Menurunnya kuantitas produksi media pembawa
b. Menurunnya kualitas media pembawa
c.  Menurunnya keragaman hayati komoditas perikanan
3

2

1
Bila ketiga kategori terpenuhi
Bila dua kategori terpenuhi
Bila satu kategori terpenuhi.
3
11
Dampak biologi
a.   Mengancam spesies asli
b.  Belum diketahui spesies asli
c.  Tidak mengancam spesies asli
3
2
1
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi
Bila kategori c terpenuhi
3
Total nilai
29
Hasil penilaian risiko terhadap negara wabah TiLV: risiko tinggi


Lampiran 2 Penilaian risiko terhadap negara berisiko tinggi terhadap penyebaran penyakit TiLV.
No.
Faktor
Katogeri
Nilai asumsi
Uraian
Penilaian

1.
Asal media pembawa
a.Berasal dari negara yang terdapat patogen yang belum ada di wilayah atau sebagian wilayah RI/ Gol I
b.Berasal dari kawasan yang sedang terdapat wabah penyakit atau berasal dari negara yang bukan negara anggota OIE
c.Berasal dari negara yang belum menerapkan sistem perkarantinaan ikan (good quarantine system)
d.Berasal dari kawasan budidaya yang belum menerapkan good aquaculture system
3



2




1



1
Bila kategori a dan/atau b terpenuhi

Bila kategori a dan b tidak terpenuhi dan sekurang-kurangnya 2 kategori lainnya

Bila kategori a dan b tidak terpenuhi tetapi satu kategori lainnya terpenuhi
3

2.
Tingkat virulensi HPI
a. Kematian >60% dalam waktu < 72 jam
b.Kematian 30-60% dalam waktu 3-14 hari
c. Kematian <30% dalam waktu >14 hari
3

2

1

3

3
Kemampuan HPI bertahan hidup
a.Mampu hidup di dalam tubuh inang yang hidup ataupun yang mati dan berasosiasi dengan aquatic plant, dan krustase lainnya.
b.Mampu hidup di dalam tubuh inang yang hidup ataupun yang mati
c.Hanya mampu hidup di dalam tubuh inang hidup
3



2



1
Bila kategori a terpenuhi


Bila kategori b terpenuhi

Bila kategori c terpenuhi
2

4.
Tingkat kesulitan deteksi HPIK
a.Belum ada metode deteksi standar
b.Sudah ada metode deteksi standar
3

1
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi
1

5
Tingkat kesulitan pengendalian HPIK
a.Tidak bisa dilakukan pengendalian
b.Bisa dilakukan pengendalian
3

1
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi
3

6
Lingkungan yang mempengaruhi perkembangan HPI
a.Kondisi lingkungan perairan sangat mendukung untuk perkembangan HPI
b.Kondisi lingkungan perairan kurang mendukung perkembangan HPI
c.Kondisi lingkungan perairan tidak mendukung/tidak sesuai untuk perkembangan HPI
3


2


1
Bila kategori a terpenuhi

Bila kategori b terpenuhi

Bila kategori c terpenuhi
3

7
Tingkat risiko media pembawa terhadap potensi Penyebaran HPI
a.Media pembawa berpotensi tinggi terhadap penyebaran penyakit
b.Media pembawa berpotensi sedang terhadap penyebaran penyakit


c. Media pembawa berpotensi rendah terhadap penyebaran penyakit
3


2




1
Susceptible host yang dibudidayakan secara luas
Susceptible host dibudidayakan secara terbatas
Host yang tidak ada kaitannya dengan penyakit untuk konsumsi
3

8
Epidemiologi
a.Epidemiologi HPI negara asal sama sekali tidak diketahui
b.     Epidemiologi HPI negara asal baru sebagian diketahui.
c.Epidemiologi HPI negara asal telah diketahui secara lengkap
3


2


1
Bila kategori a terpenuhi

Bila kategori b terpenuhi.

Bila kategori c terpenuhi
2

9
Spesifikasi inang
a.Media pembawa yang rentan/ Susceptible
b.Media pembawa yang tidak rentan dan bukan carrier/ non susceptible
3

1
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi
3

10
Dampak ekonomi
a.Menurunnya kuantitas produksi media pembawa
b.Menurunnya kualitas media pembawa
c.Menurunnya keragaman hayati komoditas perikanan
3
2
1
Bila ketiga kategori terpenuhi
Bila dua kategori terpenuhi
Bila satu kategori terpenuhi.
3

11
Dampak biologi
a.Mengancam spesies asli
b.Belum diketahui spesies asli
c.Tidak mengancam spesies asli
3
2
1
Bila kategori a terpenuhi
Bila kategori b terpenuhi
Bila kategori c terpenuhi
3

Total nilai
29

Hasil penilaian risiko terhadap negara berpotensi tinggi terhadap penyebaran TiLV: Risiko tinggi

Tips dan Trik Mengatur Suhu dan pH Air di Tambak Udang untuk Hasil Panen Optimal

Mengelola tambak udang membutuhkan perhatian khusus, terutama dalam menjaga kualitas air. Dua parameter yang sangat penting adalah suhu dan ...