Selasa, 15 April 2014

TEKNIK PENANGANAN KUALITAS FISIKA AIR (KEKERUHAN) DENGAN BAHAN KIMIA (KOAGULASI, FLOAKULASI, SEDIMENTASI)



DILARANG KERAS MELAKUKAN COPY PASTE... JANGAN RUGIKAN DIRI ANDA SENDIRI!!! POSTINGAN INI HANYA SALAH SATU JALAN UNTUK MEMPERMUDAH KALIAN MENCARI LITERATUR. UNTUK LEBIH LENGKAPNYA SILAHKAN LIHAT DAFTAR PUSTAKA N SEARCHING SENDIRI... SEMUA SUMBERNYA TERSEDIA DI GOOGLE... HEHEHEHEH,,, :)



Laporan praktikum ke-1                       Hari/Tanggal       : Senin/ 27 Februari 2012
m.k. Teknik Penanganan                     Kelompok/ shift  : 4/ 2
        Lingkungan Perikanan                 Dosen                 : Wida Lesmanawati S.Pi
        Budidaya                                      Asisten                : 1. Siti Nur Azizah, S.Pi
                                                               2. Benedictus Viktor A. Md
           






TEKNIK PENANGAN KUALITAS FISIKA AIR (KEKERUHAN) DENGAN BAHAN KIMIA (KOAGULASI, FLOAKULASI, SEDIMENTASI)

Disusun oleh:


Dian Novita Sari         J3H110045
Awan Santiko            J3H110022
Rolly Andrian             J3H210058














TEKNOLOGI PRODUKSI DAN MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA
PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012


I.  PENDAHULUAN
I.I. Latar belakang
            Air yang keruh sering ditemukan di berbagai sumber air, terutama ketika musim hujan. Hal ini tentunya akan mengganggu aktivitas budidaya perikanan khususnya untuk budidaya ikan air tawar. Untuk mendapatkan air dengan parameter yang sesuai dengan kebutuhan ikan maka diperlukan berbagai treatmen untuk mendapatkan air dengan kualitas yang baik dan sesuai dengan kebutuhan komoditas budidaya. Dalam hal masalah kekeruhan, telah ditemukan beberapa langkah treatmen untuk mendapat air dengan tingkat kekeruhan yang rendah, diantaranya dengan teknik kogulasi, floakulasi, dan sedimentasi.
Lumpur dan partikel-partikel (bahan-bahan anorganik) akibat buangan limbah atau banjir secara umum akan menyebabkan beberapa kerugian bagi budidaya perikanan maupun terhadap ikan-ikan liar. Hal ini disebabkan karena secara langsung lumpur dan partikel-partikel tersebut akan menyebabkan kematian ikan, menurunkan laju pertumbuhannya atau menurunkan resistensinya terhadap penyakit, menghambat perkembangan lanjut telur sehingga menyebabkan gagal menetas, dan menghambat pertumbuhan larva, memodifikasi gerakan alami dan migrasi ikan, dan menurunkan kelimpahan pakan alami (terutama pakan hidup) bagi ikan (Alabaster dan Lyoyd 1980).
            Padatan terlarut, partikel-partikel dan limpur yang masuk ke peraian alami maupun buatan berasal dari kegiatan pembukaan lahan hutan atau pertanian, buangan limbah pertambangan, industri, rumah tangga, dan perkotaan. Sebagian partikel dapat segera didekomposisi, tetapi ada kemungkinan sebagian partikel tersubt bersifat toksik bagi biota akuatik. Partikel-partikel dalam air dapat mengganggu insang atau menyebabkan kerusakan insang sehingga merangsang ikan untuk memproduksi mukus secara berlebihan. Pada kasus yang berat, ikan dapat mengalami aneroksia (kekurangan oksigen) akibat insangnya tertutupi oleh mukus dan partikel lumpur (Irianto 2005).

1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah mengidentifikasi bahan, dosis, dan waktu yang optimum koagulan.


II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tawas
Tawas/alum adalah sejenis koagulan dengan rumus kimia Al2S04 11 H2O atau 14 H2O atau 18 H2O umumnya yang digunakan adalah 18 H2O. Semakin banyak ikatan molekul hidrat maka semakin banyak ion lawan yang nantinya akan ditangkap akan tetapi umumnya tidak stabil. Pada pH < 7 terbentuk Al ( OH )2+, Al ( OH )2 4+,  Al2 ( OH )2 4+. Pada pH > 7 terbentuk Al ( OH )-4. Flok –flok Al ( OH )3 mengendap berwarna putih (Arifin, 2009).
Gugus utama dalam proses koagulasi adalah senyawa aluminat yang optimum pada pH netral. Apabila pH tinggi atau boleh dikatakan kekurangan dosis maka air akan nampak seperti air baku karena gugus aluminat tidak terbentuk secara sempurna. Akan tetapi apabila pH rendah atau boleh dikata kelebihan dosis maka air akan tampak keputih – putihan karena terlalu banyak konsentrasi alum yang cenderung berwarna putih. Dalam cartesian terbentuk hubungan parabola terbuka, sehingga memerlukan dosis yang tepat dalam proses penjernihan air.
Pada kasus pembentukan flok yang lemah dengan menggunakan dosis tawas optimum untuk menghilangkan warna, polialumunium klorida (PAC) dapat digunakan sebagai koagulan pilihan selain tawas. Koagulasi dengan poli alumunium klorida dapat dengan mudah memproduksi flok yang kuat dalam air dengan jangkauan dosis yang lebih kecil dan rentang pH yang lebih besar, tanpa mempertimbangkan kehadiran alkalinitas yang cukup.

2.2 FeCl3
Feri klorida (FeCl2) merupakan salah koagulan yang berbentuk bongkah dan ada pula yang berbentuk cairan. Jika bereaksi denga air akan menyebabkan air tersebut menjadi asam dengan pH optimum 4-9 (Pararaja, 2008).

2.3 Fe(SO4)3
Fero sulfat (FeSO4) merupakan salah satu koagulan yang berbentuk kristal halus dan jika berikatan dengan air akan menyebabkan iar menjadi asam dengan pH optimum > 8,5 (Pararaja, 2008).

III.  METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
            Praktikum ini dilaksanakan pada hari Senin, 20 Februari 2012, pukul 09.00-11.20 WIB, bertempat di Laboratorium CB BIO, Cilibende, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat.

3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah gelas piala 250 mL, botol mineral 600 mL, pipet mohr, bulb, pH meter, spektrofotometer, tabung reaksi 2 buah, batang pengaduk, stopwatch, dan kuvet, sedangkan bahan digunakan adalah sampel air, FeCl3, FeSO4, dan tawas (alum).

3.3 Prosedur Kerja
Semua alat dan bahan yang akan digunakan disiapkan. Sampel air diaduk dan diambil sebanyak 250 mL, lalu sebanyak 10 mL di spektro (menit ke 0). Kemudian jumlah koagulan yang akan digunakan dihitung dengan rumus pengenceran. Setelah jumlah koagulan yang akan digunakan selesai diencerkan, air sampel dikeluarkan sebanyak jumlah reagen yang akan digunakan kemudian diaduk selama ± 5 menit lalu didiamkan. Pada menit ke 30, 60, 90, dan 120 sampel air diambil sebanyak 10 mL dan dipipet dengan pipet mohr dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Setelah itu spektofotometer dihubungkan dengan arus listrik dan dinyalakan, lalu panjang gelombangnya diatur sesuai, 45o nm. Selanjutnya, kuvet dibersihkan dan sampel air dimasukkan ke dalam kuvet kemudian dilap dengan tisu. Selanjutnya kuvet dimasukkan ke dalam spektrofotometer dan hasil transmitannya dicatat. Setelah dispektro, kuvet dikeluarkan dan dicuci dengan akuades. kemudian spektrofotometer dimatikan dan kabelnya dicabut. Selanjutnya, sampel air dimasukkan ke dalam gelas piala 50 mL untuk diukur pH dan suhunya. Setelah itu, pH meter dihubungkan dengan arus listrik dan dinyalakan. Selanjutnya pH meter dikalibrasi, lalu elektroda dimasukkan ke sampel air. pH dan suhu yang ditampilkan di monitor dicatat. Pengukuran kekeruhan, pH, dan suhu air kontrol sama dengan prosedur pengukuran air sampel, tetapi air kontrol tidak diberi koagulan.
Contoh penentuan jumlah koagulan yang akan digunakan:
M1V1 = M2V2
1000 ppm x V1 = 50 ppm x 250 mL
1000ppm V1 = 12500 mLppm
V1 = 12500 mLppm/ 1000ppm
V1= 12,5 mL
Jadi, volume larutan stok 1 ppt yang digunakan adalah 12,5 mL dan volume air sampel yang digunakan adalah:
Vair = Vtot – Vstok
Vair = 250 mL – 12,5 mL
Vair = 237,5 mL



IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 1. Hasil pengukuran kekeruhan
Treatment
Kosentrasi
( ppm)
Hasil pengukuran kekeruhan pada
menit ke – (transmitan)
 Penurunan
Kekeruhan
( %)
0
30
60
90
120
Tawas
50
22,9
127,2
123,8
132,5
112,0
20,44

100
22,9
114,8
126,2
95,45
96,45
23,74

150
22,9
124,4
128,8
97,4
98,3
23,30
FeCl3
50
22,9
140,7
130,5
130,1
97,9
23,40

100
22,9
92,9
90,3
71,80
71,60
31,98

150
22,9
61,9
65,9
50,55
44,7
51,23
Fe2 (SO4)3
50
22,9
107,4
118,4
97,30
95,44
24,01

100
22,9
128,2
122,6
94,65
93,75
24,42

150
22,9
83,5
95,4
92,60
90,80
25,22
Kontrol

22,9
40,21
63,6
75,5
75,6
30,29

Tabel 2. Hasil pengukuran suhu dan  pH.
Treatment
Kosentrasi
( ppm)
pH  sampel pada menit ke-
Suhu sampel air
0
30
60
90
120







26,3 oC
Tawas
50
6,6
6,91
6,62
6,62
6,50
100
6,6
6,81
6,22
6,43
6,67
150
6,6
6,53
6,06
6,72
6,61







FeCl3
50
6,6
6,35
6,42
6,47
6,20
100
6,6
3,32
3,71
3,47
3,80
150
6,6
3,41
3,05
3,22
3,17







Fe2 (SO4)3
50
6,6
3,12
2,97
2,44
2,65
100
6,6
2,36
2,60
2,41
2,70
150
6,6
2,43
2,55
2,58
2,60






Kontrol

6,6
6,16
6,5
6,6
6,5

4.2 Pembahasan
Tawas merupakan jenis koagulan yang umum digunakan untuk menjernihkan air, tawas dapat bekerja dengan baik pada pH netral. Apabila pH terlalu tinggi maka air akan tampak seperti air baku karena gugus aluminat tidak berikatan secara sempurna namun bila pH terlalu rendah maka air akan tampak keputih-putihan karena terlalu banyak konsentrasi aluminat yang denderung berwarna putih. Kenaikan pH disebabkan oleh dosis yang terlalu tinggi ataupun terlalu rendah, jika dosis terlalu rendah maka pH akan tinggi dan jika dosis berlebihan maka nilai ph akan rendah.
Berdasarkan literatur, semakin tinggi nilai dosis koagulan yang ditambahkan ke dalam air yang berupa tawas maka pH akan semakin rendah (Pararaja, 2008). Namun pada percobaan yang dilakukan semakin tinggi dosis yang diberikan, maka pH perairan pun mengalami penurunan tetapi perubahannya sangat kecil. Hal ini bisa disebabkan oleh efektifitas tawas yang mengalami penurunan seiring dengan lama penyimpanan sebelum digunakan. Koagulan berupa tawas yang diuji, dapat bekerja secara optimal pada konsentrasi 50 ppm, pada dosis 100 ppm dan 150 ppm tawas dapat menjernihkan air dengan baik pada awalnya, namun seiring dengan penurunan pH maka air berubah menjadi berwarna putih dan keruh kembali, sehingga nilai transmitan pun semakin kecil. Hal tersebut diakibatkan karena terlalu banyaknya senyawa aluminat pada air yang diuji coba. Berdasarkan hasil pengukuran, penggunaan tawas sebagai koagulan tidak terlalu mempengaruhi pH air, sehingga dalam segi ekonomi menjadi lebih efisien karena tidak membutuhkan treatmen lanjutan untuk menetralkan pH air. Akan tetapi, dari segi waktu, penggunaan tawas sebagai koagulan kurang efektif karena proses floakulasi dan sedimentasinya berjalan lambat.
FeCl3 apabila dilarutkan dalam air akan membentuk reaksi eksotermis (menghasilkan panas), hidrolisis tersebut akan menghasilkan larutan coklat, asam, dan korosif yang dapat digunakan sebagai koagulan (Holleman 2001). Pada umumnya, air yang diberi FeCl3 dengan konsentrasi 150 ppm memiliki tingkat kekeruhan yang paling tinggi, dan menurun pada menit ke 60, akan tetapi kekeruhannya mengalami peningkatan pada menit ke 90 dan 120. Hal ini disebabkan karena konsentrasi FeCl3 terlalu tinggi tidak dapat menjernihkan air dengan baik. Air yang digunakan berubah menjadi warna kuning sehingga nilai transmitannya (jumlah cahaya yang diteruskan) pun rendah, hal tersebut berarti nilai kekeruhan awal tidak banyak berubah. Konsentrasi bahan yang terlalu tinggi membuat pH perairan menjadi turun, hal tersebut membuat reaksi kimia menjadi lambat dan koagulan pun tidak dapat mengikat flok dengan baik. Semakin tinggi konsentrasi FeClyang diberikan maka semakin tinggi ion Fe yang terkandung dalam air sehingga air berubah warna menjadi kuning.
Penggunaan FeCl3 dengan dosis 50 ppm, memberikan efektifitas terbaik dari semua koagulan yang digunakan. Hal ini dilihat pada menit ke 30, jumlah cahaya yang diteruskan (transmitan) paling besar, meskipun pada menit ke 60, 90, dan 120, tingkat kekeruhannya cenderung meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa FeCl3 dengan dosis 50 ppm, paling efektif jika digunakan selama 30 menit. Treatmen dengan FeCl3 dosis 50 ppm pun tidak terlalu mempengaruhi pH air. Berdasarkan hasil pengukuran pH, air yang ditreatmen dengan FeCl3 dosis 50 ppm, memiliki pH yang cenderung netral. Akan tetapi, jika treatmen air dengan FeCl3 dosis 50 ppm dilakukan dalam waktu yang relatif lama, maka tingkat penurunan kekeruhan akan semakin menurun, sehingga tingkat kekeruhan akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh, reaksi yang terjadi dalam air jika ditreatmen dalam waktu lebih dari 30 menit, karena FeCl3 akan menghidrolisis air dan akan menghasilkan larutan coklat. Pada treatmen air menggunakan FeCl3 dengan dosis lebih dari 50 ppm akan menyebabkan pH air menjadi rendah (asam), sehingga untuk mendapatkan air dengan parameter yang sesuai kebutuhan biota budidaya maka dibutuhkan biaya tambahan untuk meningkatkan pH air. Dalam hal ini, penggunaan FeCl3 dengan dosis  lebih dari 50 ppm kurang efisien dalam segi ekonomi dan waktu, karena proses floakulasinya pun berjalan lambat sehingga membutuhkan lebih banyak waktu untuk mendapatkan air dengan kekeruhan rendah.
Penggunaan Fe2(SO4)3 sebagai koagulan menunjukkan penurunan kekeruhan terbaik dengan dosis 50 ppm dengan lama treatmen 30 menit. Treatmen air dengan Fe2(SO­4)3 dosis 50 ppm dengan waktu lebih dari 30 menit akan menyebabkan tingkat kekeruhan air kembali meningkat. Hal ini disebabkan karena koagulan tersebut pun mengandung Fe yang akan menghidrolisis air menjadi berwarna coklat. Akan tetapi penggunaan Fe2(SO­4)3 akan menyebabkan pH air menjadi menurun (asam) dan kondisi ini akan membutuhkan treatmen lanjut untuk meningkatkan pH air menjadi netral sehingga dibutuhkan biaya tambahan untuk mendapatkan air dengan parameter fisika dan kimia yang sesuai dengan kebutuhan biota budidaya. Sehingga dari segi ekonomi, penggunaan Fe2(SO­4)3 tidak efisien dari segi ekonomi.

V. KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh hasil bahwa dari ketiga koagulan yang digunakan umumnya efektif dalam waktu 30 menit, lebih dari 30 menit akan menyebabkan kekruhan menjadi menigkat akibat reaksi yang terjadi antara koagulan dengan air. Berdasarkan hasil pengukuran, koagulan yang paling efektif dan efisien dalam penanganan kekeruhan dalam air adalah FeCl3 dengan dosis 50 ppm dengan lama treatmen sekitar 30 menit. Treatmen dengan menggunakan tawas pun bisa menjadi koagulan yang efisien dari segi ekonomi, akan tetapi dari segi waktu, tawas menjadi kurang efisien karena waktu floakulasi dan sedimentasinya berjalan lambat. Penggunaan Fe2(SO4)3 memberikan hasil yang kurang efisien dari segi ekonomi.

5.2 Saran
Pada praktikum berikutnya diharapkan bahan-bahan kimia (koagulan yang digunakan lebih bervariasi lagi, sehingga praktikan dapat membandingkan dan menemukan jenis koagulan yang paling efektif dan efisien dalam treatmen air.


VI. DAFTAR PUSTAKA

Arifin, 2009. Bahan kimia penjernih air. http://www.scribd.com (23 Februari 2012).
Holleman, A.F. (2001). Inorganic Chemistry. San Diego: Academic Press. ISBN 0-12-352651-5.

Irianto, Agus. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Yogyakarta: Gadjah Mada University press.
Pararaja, Arifin. 2008. Bahan kimia penjernih air (koagulan). www.eartshare.org/koagulan. [05 Agustus 2008].


Tips dan Trik Mengatur Suhu dan pH Air di Tambak Udang untuk Hasil Panen Optimal

Mengelola tambak udang membutuhkan perhatian khusus, terutama dalam menjaga kualitas air. Dua parameter yang sangat penting adalah suhu dan ...