DILARANG KERAS MELAKUKAN COPY PASTE... JANGAN RUGIKAN DIRI ANDA SENDIRI!!! POSTINGAN INI HANYA SALAH SATU JALAN UNTUK MEMPERMUDAH KALIAN MENCARI LITERATUR. UNTUK LEBIH LENGKAPNYA SILAHKAN LIHAT DAFTAR PUSTAKA N SEARCHING SENDIRI... SEMUA SUMBERNYA TERSEDIA DI GOOGLE... HEHEHEHEH,,, :)
Laporan praktikum ke-1 Hari/Tanggal : Senin/ 27 Februari 2012
m.k.
Teknik Penanganan Kelompok/
shift : 4/ 2
Lingkungan Perikanan Dosen : Wida Lesmanawati S.Pi
Budidaya Asisten
: 1. Siti Nur Azizah, S.Pi
2. Benedictus Viktor A. Md
TEKNIK PENANGAN KUALITAS
FISIKA AIR (KEKERUHAN) DENGAN BAHAN KIMIA (KOAGULASI, FLOAKULASI, SEDIMENTASI)
Disusun oleh:
Dian Novita Sari J3H110045
Awan Santiko J3H110022
Rolly Andrian J3H210058
TEKNOLOGI PRODUKSI DAN MANAJEMEN
PERIKANAN BUDIDAYA
PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
I. PENDAHULUAN
I.I. Latar belakang
Air yang keruh sering
ditemukan di berbagai sumber air, terutama ketika musim hujan. Hal ini tentunya
akan mengganggu aktivitas budidaya perikanan khususnya untuk budidaya ikan air
tawar. Untuk mendapatkan air dengan parameter yang sesuai dengan kebutuhan ikan
maka diperlukan berbagai treatmen untuk mendapatkan air dengan kualitas yang
baik dan sesuai dengan kebutuhan komoditas budidaya. Dalam hal masalah
kekeruhan, telah ditemukan beberapa langkah treatmen untuk mendapat air dengan
tingkat kekeruhan yang rendah, diantaranya dengan teknik kogulasi, floakulasi,
dan sedimentasi.
Lumpur dan partikel-partikel (bahan-bahan anorganik) akibat buangan
limbah atau banjir secara umum akan menyebabkan beberapa kerugian bagi budidaya
perikanan maupun terhadap ikan-ikan liar. Hal ini disebabkan karena secara
langsung lumpur dan partikel-partikel tersebut akan menyebabkan kematian ikan, menurunkan
laju pertumbuhannya atau menurunkan resistensinya terhadap penyakit, menghambat
perkembangan lanjut telur sehingga menyebabkan gagal menetas, dan menghambat
pertumbuhan larva, memodifikasi gerakan alami dan migrasi ikan, dan menurunkan
kelimpahan pakan alami (terutama pakan hidup) bagi ikan (Alabaster dan Lyoyd
1980).
Padatan terlarut,
partikel-partikel dan limpur yang masuk ke peraian alami maupun buatan berasal
dari kegiatan pembukaan lahan hutan atau pertanian, buangan limbah
pertambangan, industri, rumah tangga, dan perkotaan. Sebagian partikel dapat
segera didekomposisi, tetapi ada kemungkinan sebagian partikel tersubt bersifat
toksik bagi biota akuatik. Partikel-partikel dalam air dapat mengganggu insang
atau menyebabkan kerusakan insang sehingga merangsang ikan untuk memproduksi
mukus secara berlebihan. Pada kasus yang berat, ikan dapat mengalami aneroksia
(kekurangan oksigen) akibat insangnya tertutupi oleh mukus dan partikel lumpur
(Irianto 2005).
1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum
ini adalah mengidentifikasi bahan, dosis, dan waktu yang optimum koagulan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tawas
Tawas/alum
adalah sejenis koagulan dengan rumus kimia Al2S04 11 H2O
atau 14 H2O atau 18 H2O umumnya yang digunakan adalah 18 H2O.
Semakin banyak ikatan molekul hidrat maka semakin banyak ion lawan yang
nantinya akan ditangkap akan tetapi umumnya tidak stabil. Pada pH < 7
terbentuk Al ( OH )2+, Al ( OH )2 4+, Al2
( OH )2 4+. Pada pH > 7 terbentuk Al ( OH )-4.
Flok –flok Al ( OH )3 mengendap berwarna putih (Arifin,
2009).
Gugus
utama dalam proses koagulasi adalah senyawa aluminat yang optimum pada pH
netral. Apabila pH tinggi atau boleh dikatakan kekurangan dosis maka air akan
nampak seperti air baku karena gugus aluminat tidak terbentuk secara sempurna.
Akan tetapi apabila pH rendah atau boleh dikata kelebihan dosis maka air akan
tampak keputih – putihan karena terlalu banyak konsentrasi alum yang cenderung
berwarna putih. Dalam cartesian terbentuk hubungan parabola terbuka, sehingga
memerlukan dosis yang tepat dalam proses penjernihan air.
Pada kasus pembentukan
flok yang lemah dengan menggunakan dosis tawas optimum untuk menghilangkan
warna, polialumunium klorida (PAC) dapat digunakan sebagai koagulan pilihan
selain tawas. Koagulasi dengan poli alumunium klorida dapat dengan mudah
memproduksi flok yang kuat dalam air dengan jangkauan dosis yang lebih kecil
dan rentang pH yang lebih besar, tanpa mempertimbangkan kehadiran alkalinitas
yang cukup.
2.2 FeCl3
Feri klorida (FeCl2) merupakan salah koagulan yang berbentuk
bongkah dan ada pula yang berbentuk cairan. Jika bereaksi denga air akan
menyebabkan air tersebut menjadi asam dengan pH optimum 4-9 (Pararaja, 2008).
2.3 Fe(SO4)3
Fero sulfat (FeSO4) merupakan salah satu koagulan yang
berbentuk kristal halus dan jika berikatan dengan air akan menyebabkan iar
menjadi asam dengan pH optimum > 8,5 (Pararaja, 2008).
III. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum
ini dilaksanakan pada hari Senin, 20 Februari 2012, pukul 09.00-11.20 WIB, bertempat
di Laboratorium CB BIO, Cilibende, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah gelas piala 250 mL, botol
mineral 600 mL, pipet mohr, bulb, pH meter, spektrofotometer, tabung reaksi 2
buah, batang pengaduk, stopwatch, dan kuvet, sedangkan bahan digunakan adalah
sampel air, FeCl3, FeSO4, dan tawas (alum).
3.3 Prosedur Kerja
Semua alat dan bahan yang akan digunakan
disiapkan. Sampel air diaduk dan diambil sebanyak 250 mL, lalu sebanyak 10 mL
di spektro (menit ke 0). Kemudian jumlah koagulan yang akan digunakan dihitung
dengan rumus pengenceran. Setelah jumlah koagulan yang akan digunakan selesai
diencerkan, air sampel dikeluarkan sebanyak jumlah reagen yang akan digunakan kemudian
diaduk selama ± 5 menit lalu didiamkan. Pada menit ke 30, 60, 90, dan 120 sampel air
diambil sebanyak 10 mL dan dipipet dengan pipet mohr dan dimasukkan ke dalam
tabung reaksi. Setelah itu spektofotometer dihubungkan dengan arus listrik dan
dinyalakan, lalu panjang gelombangnya diatur sesuai, 45o nm. Selanjutnya, kuvet
dibersihkan dan sampel air dimasukkan ke dalam kuvet kemudian dilap dengan
tisu. Selanjutnya kuvet dimasukkan ke dalam spektrofotometer dan hasil
transmitannya dicatat. Setelah dispektro, kuvet dikeluarkan dan dicuci dengan
akuades. kemudian spektrofotometer dimatikan dan kabelnya dicabut. Selanjutnya,
sampel air dimasukkan ke dalam gelas piala 50 mL untuk diukur pH dan suhunya. Setelah
itu, pH meter dihubungkan dengan arus listrik dan dinyalakan. Selanjutnya pH
meter dikalibrasi, lalu elektroda dimasukkan ke sampel air. pH dan suhu yang
ditampilkan di monitor dicatat. Pengukuran kekeruhan, pH, dan suhu air kontrol
sama dengan prosedur pengukuran air sampel, tetapi air kontrol tidak diberi
koagulan.
Contoh penentuan jumlah koagulan yang akan digunakan:
M1V1 = M2V2
1000 ppm x V1 = 50 ppm x 250 mL
1000ppm V1 = 12500 mLppm
V1 = 12500 mLppm/ 1000ppm
V1= 12,5 mL
Jadi, volume larutan stok 1 ppt yang digunakan
adalah 12,5 mL dan volume air sampel yang digunakan adalah:
Vair = Vtot – Vstok
Vair = 250 mL – 12,5 mL
Vair = 237,5 mL
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 1. Hasil pengukuran kekeruhan
Treatment
|
Kosentrasi
( ppm)
|
Hasil pengukuran kekeruhan pada
menit ke – (transmitan)
|
Penurunan
Kekeruhan
( %)
|
||||
0
|
30
|
60
|
90
|
120
|
|||
Tawas
|
50
|
22,9
|
127,2
|
123,8
|
132,5
|
112,0
|
20,44
|
100
|
22,9
|
114,8
|
126,2
|
95,45
|
96,45
|
23,74
|
|
150
|
22,9
|
124,4
|
128,8
|
97,4
|
98,3
|
23,30
|
|
FeCl3
|
50
|
22,9
|
140,7
|
130,5
|
130,1
|
97,9
|
23,40
|
100
|
22,9
|
92,9
|
90,3
|
71,80
|
71,60
|
31,98
|
|
150
|
22,9
|
61,9
|
65,9
|
50,55
|
44,7
|
51,23
|
|
Fe2 (SO4)3
|
50
|
22,9
|
107,4
|
118,4
|
97,30
|
95,44
|
24,01
|
100
|
22,9
|
128,2
|
122,6
|
94,65
|
93,75
|
24,42
|
|
150
|
22,9
|
83,5
|
95,4
|
92,60
|
90,80
|
25,22
|
|
Kontrol
|
22,9
|
40,21
|
63,6
|
75,5
|
75,6
|
30,29
|
Tabel 2. Hasil pengukuran
suhu dan pH.
Treatment
|
Kosentrasi
( ppm)
|
pH
sampel pada menit ke-
|
Suhu sampel air
|
||||
0
|
30
|
60
|
90
|
120
|
26,3 oC
|
||
Tawas
|
50
|
6,6
|
6,91
|
6,62
|
6,62
|
6,50
|
|
100
|
6,6
|
6,81
|
6,22
|
6,43
|
6,67
|
||
150
|
6,6
|
6,53
|
6,06
|
6,72
|
6,61
|
||
FeCl3
|
50
|
6,6
|
6,35
|
6,42
|
6,47
|
6,20
|
|
100
|
6,6
|
3,32
|
3,71
|
3,47
|
3,80
|
||
150
|
6,6
|
3,41
|
3,05
|
3,22
|
3,17
|
||
Fe2 (SO4)3
|
50
|
6,6
|
3,12
|
2,97
|
2,44
|
2,65
|
|
100
|
6,6
|
2,36
|
2,60
|
2,41
|
2,70
|
||
150
|
6,6
|
2,43
|
2,55
|
2,58
|
2,60
|
||
Kontrol
|
6,6
|
6,16
|
6,5
|
6,6
|
6,5
|
4.2 Pembahasan
Tawas merupakan jenis koagulan yang umum
digunakan untuk menjernihkan air, tawas dapat bekerja dengan baik pada pH
netral. Apabila pH terlalu tinggi maka air akan tampak seperti air baku karena
gugus aluminat tidak berikatan secara sempurna namun bila pH terlalu rendah
maka air akan tampak keputih-putihan karena terlalu banyak konsentrasi aluminat
yang denderung berwarna putih. Kenaikan pH disebabkan oleh dosis yang terlalu
tinggi ataupun terlalu rendah, jika dosis terlalu rendah maka pH akan tinggi
dan jika dosis berlebihan maka nilai ph akan rendah.
Berdasarkan literatur, semakin tinggi nilai
dosis koagulan yang ditambahkan ke dalam air yang berupa tawas maka pH akan
semakin rendah (Pararaja, 2008). Namun pada percobaan yang dilakukan semakin tinggi dosis yang
diberikan, maka pH perairan pun mengalami penurunan tetapi perubahannya sangat
kecil. Hal ini bisa disebabkan oleh efektifitas tawas yang mengalami penurunan
seiring dengan lama penyimpanan sebelum digunakan. Koagulan berupa tawas yang
diuji, dapat bekerja secara optimal pada konsentrasi 50 ppm, pada dosis 100 ppm
dan 150 ppm tawas dapat menjernihkan air dengan baik pada awalnya, namun
seiring dengan penurunan pH maka air berubah menjadi berwarna putih dan keruh
kembali, sehingga nilai transmitan pun semakin kecil. Hal tersebut diakibatkan
karena terlalu banyaknya senyawa aluminat pada air yang diuji coba. Berdasarkan
hasil pengukuran, penggunaan tawas sebagai koagulan tidak terlalu mempengaruhi
pH air, sehingga dalam segi ekonomi menjadi lebih efisien karena tidak
membutuhkan treatmen lanjutan untuk menetralkan pH air. Akan tetapi, dari segi
waktu, penggunaan tawas sebagai koagulan kurang efektif karena proses
floakulasi dan sedimentasinya berjalan lambat.
FeCl3 apabila dilarutkan dalam air akan membentuk reaksi
eksotermis (menghasilkan panas), hidrolisis tersebut akan menghasilkan larutan
coklat, asam, dan korosif yang dapat digunakan sebagai koagulan (Holleman 2001). Pada umumnya, air yang diberi FeCl3 dengan
konsentrasi 150 ppm memiliki tingkat kekeruhan yang paling tinggi, dan menurun pada
menit ke 60, akan tetapi kekeruhannya mengalami peningkatan pada menit ke 90
dan 120. Hal ini disebabkan karena konsentrasi FeCl3 terlalu tinggi
tidak dapat menjernihkan air dengan baik. Air yang digunakan berubah menjadi
warna kuning sehingga nilai transmitannya (jumlah cahaya yang diteruskan) pun
rendah, hal tersebut berarti nilai kekeruhan awal tidak banyak berubah.
Konsentrasi bahan yang terlalu tinggi membuat pH perairan menjadi turun, hal
tersebut membuat reaksi kimia menjadi lambat dan koagulan pun tidak dapat
mengikat flok dengan baik. Semakin tinggi konsentrasi FeCl3 yang diberikan maka semakin tinggi ion
Fe yang terkandung dalam air sehingga air berubah warna menjadi kuning.
Penggunaan FeCl3 dengan dosis 50 ppm, memberikan efektifitas
terbaik dari semua koagulan yang digunakan. Hal ini dilihat pada menit ke 30,
jumlah cahaya yang diteruskan (transmitan) paling besar, meskipun pada menit ke
60, 90, dan 120, tingkat kekeruhannya cenderung meningkat. Hal ini menunjukkan
bahwa FeCl3 dengan dosis 50 ppm, paling efektif jika digunakan
selama 30 menit. Treatmen dengan FeCl3 dosis 50 ppm pun tidak
terlalu mempengaruhi pH air. Berdasarkan hasil pengukuran pH, air yang
ditreatmen dengan FeCl3 dosis 50 ppm, memiliki pH yang cenderung
netral. Akan tetapi, jika treatmen air dengan FeCl3 dosis 50 ppm
dilakukan dalam waktu yang relatif lama, maka tingkat penurunan kekeruhan akan
semakin menurun, sehingga tingkat kekeruhan akan semakin meningkat. Hal ini
disebabkan oleh, reaksi yang terjadi dalam air jika ditreatmen dalam waktu
lebih dari 30 menit, karena FeCl3 akan menghidrolisis air dan akan
menghasilkan larutan coklat. Pada treatmen air menggunakan FeCl3 dengan
dosis lebih dari 50 ppm akan menyebabkan pH air menjadi rendah (asam), sehingga
untuk mendapatkan air dengan parameter yang sesuai kebutuhan biota budidaya
maka dibutuhkan biaya tambahan untuk meningkatkan pH air. Dalam hal ini,
penggunaan FeCl3 dengan dosis
lebih dari 50 ppm kurang efisien dalam segi ekonomi dan waktu, karena
proses floakulasinya pun berjalan lambat sehingga membutuhkan lebih banyak
waktu untuk mendapatkan air dengan kekeruhan rendah.
Penggunaan Fe2(SO4)3 sebagai koagulan
menunjukkan penurunan kekeruhan terbaik dengan dosis 50 ppm dengan lama
treatmen 30 menit. Treatmen air dengan Fe2(SO4)3
dosis 50 ppm dengan waktu lebih dari 30 menit akan menyebabkan tingkat
kekeruhan air kembali meningkat. Hal ini disebabkan karena koagulan tersebut
pun mengandung Fe yang akan menghidrolisis air menjadi berwarna coklat. Akan
tetapi penggunaan Fe2(SO4)3 akan menyebabkan
pH air menjadi menurun (asam) dan kondisi ini akan membutuhkan treatmen lanjut
untuk meningkatkan pH air menjadi netral sehingga dibutuhkan biaya tambahan untuk
mendapatkan air dengan parameter fisika dan kimia yang sesuai dengan kebutuhan
biota budidaya. Sehingga dari segi ekonomi, penggunaan Fe2(SO4)3
tidak efisien dari segi ekonomi.
V. KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh hasil
bahwa dari ketiga koagulan yang digunakan umumnya efektif dalam waktu 30 menit,
lebih dari 30 menit akan menyebabkan kekruhan menjadi menigkat akibat reaksi
yang terjadi antara koagulan dengan air. Berdasarkan hasil pengukuran, koagulan
yang paling efektif dan efisien dalam penanganan kekeruhan dalam air adalah
FeCl3 dengan dosis 50 ppm dengan lama treatmen sekitar 30 menit.
Treatmen dengan menggunakan tawas pun bisa menjadi koagulan yang efisien dari
segi ekonomi, akan tetapi dari segi waktu, tawas menjadi kurang efisien karena
waktu floakulasi dan sedimentasinya berjalan lambat. Penggunaan Fe2(SO4)3
memberikan hasil yang kurang efisien dari segi ekonomi.
5.2 Saran
Pada praktikum berikutnya diharapkan bahan-bahan
kimia (koagulan yang digunakan lebih bervariasi lagi, sehingga praktikan dapat
membandingkan dan menemukan jenis koagulan yang paling efektif dan efisien
dalam treatmen air.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Holleman,
A.F. (2001). Inorganic Chemistry. San Diego: Academic Press. ISBN 0-12-352651-5.
Irianto, Agus. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Yogyakarta: Gadjah Mada University press.
Pararaja, Arifin. 2008. Bahan kimia penjernih air (koagulan). www.eartshare.org/koagulan. [05 Agustus 2008].